suara hijau

Monumen Tsunami Pancer, Pengingat Asa Dikala Bencana Melanda

Bimo Aria Fundrika | Ferika Sandra
Monumen Tsunami Pancer, Pengingat Asa Dikala Bencana Melanda
Monumen tsunami di Dusun Pancer Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi. (Foto. Ferika Sandra)

Tiga puluh satu tahun setelah bencana besar melanda Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, jejak tragedi itu masih terasa.

Tsunami yang terjadi pada 2 Juni 1994 merenggut 229 nyawa dan meninggalkan luka mendalam bagi warga pesisir selatan Banyuwangi.

Sebagai pengingat, pemerintah membangun Monumen Tsunami Pancer, penanda betapa dahsyatnya gempa dan gelombang yang pernah menghantam kawasan ini, sekaligus peringatan akan pentingnya kewaspadaan di wilayah rawan bencana.

Bagi para penyintas, monumen ini bukan sekadar simbol. Ia menyimpan ikatan emosional yang kuat.

Samsuri (63), nelayan Pancer yang kehilangan istri dan anaknya dalam tragedi tersebut, mengaku kerap datang ke monumen itu.

Ia mengapresiasi pendirian monumen sejak awal sebagai upaya negara mengingat dan tidak melupakan.

“Setidaknya ini bisa menjadi sarana pengingat bahwa di sini pernah terjadi bencana besar,” katanya.

Menurut Samsuri perjalanan manusia di dunia hanya singgah minum saja. Apa yang sudah ditakdirkan memang sudah pasti akan terjadi.

Ia yang melihat Kampung Nelayan Pancer sudah kembali normal seperti sedia kala juga sangat senang.

Namun yang perlu diingat warga juga harus terus disadarkan mengenai bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu di pesisir selatan Banyuwangi.

Monumen dan Anggapan Masyarakat Nelayan

Bukan hanya Samsuri, Suryani Fatimah (55), warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, juga memaknai Monumen Tsunami Pancer sebagai pengingat sekaligus titik balik.

Bagi masyarakat nelayan, monumen itu menjadi penanda untuk terus bangkit dalam berbagai keadaan, termasuk saat bencana.

Tingginya jumlah korban jiwa pada tsunami 1994 membuat edukasi mitigasi bencana menjadi kebutuhan mendesak.

Suryani mengapresiasi langkah pemerintah, khususnya BPBD, yang rutin memberikan pengarahan kepada warga agar mampu melakukan mitigasi secara mandiri.

“Saya senang setiap ada petugas BPBD datang memberi arahan soal mitigasi bencana,” ujarnya.

Ia meyakini, jika pengetahuan mitigasi sudah dikenalkan sejak dulu, jumlah korban bisa ditekan.

Pada 1994, warga belum memahami risiko gelombang susulan setelah gempa besar. Meski begitu, Suryani menyadari bahwa bencana adalah takdir, dan manusia hanya bisa bersiap dengan pengetahuan dan kesiapsiagaan.

Asa yang Tak Pernah Padam

Kunjungan ke Dusun Pancer memperlihatkan satu hal: asa warga tak pernah benar-benar sirna, meski tragedi besar telah berlalu 31 tahun. Masyarakat nelayan perlahan berdamai dengan laut, sumber penghidupan sekaligus ruang yang pernah membawa duka.

Kini, harapan tak lagi bergantung pada hasil tangkapan ikan semata. Warga mulai mengembangkan potensi wisata, salah satunya Pulau Bedil, destinasi di selatan Banyuwangi yang kerap disandingkan dengan Raja Ampat.

Kapal-kapal nelayan pun beralih fungsi, tak hanya untuk melaut, tetapi juga mengantar wisatawan dari Pantai Rajegwesi dan Pantai Mustika.

Inisiatif pariwisata yang digerakkan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sejak 2010, termasuk pembentukan Kelompok Sadar Wisata, membuka alternatif penghasilan baru bagi nelayan Pancer.

Dari sana, harapan terus tumbuh, bahwa dari luka lama, kehidupan tetap bisa berjalan, dan masa depan masih bisa diusahakan. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak