Dari Limbah Jadi Tinta: Kreativitas Anak Bangsa

Hayuning Ratri Hapsari | Desi Nurcahyati
Dari Limbah Jadi Tinta: Kreativitas Anak Bangsa
Ilustrasi kulit bawang putih untuk tinta spidol (Pexels/Márcio Carvalho)

Ketika berbicara tentang masalah lingkungan, sering kali manusia terjebak pada isu besar seperti polusi udara, sampah plastik, atau krisis energi. Padahal sebenarnya, solusi bisa dimulai dari hal-hal kecil yang terdapat di sekitar kita.

Salah satunya ditunjukkan oleh Raihan Jouzu Syamsudin, siswa SMPN 57 Surabaya, yang berhasil membuat tinta spidol isi ulang dari limbah kulit bawang putih. Inovasi sederhana ini tentu bukan hanya kreatif, tetapi juga mengandung pesan penting bahwa limbah dapur pun bisa menjadi solusi berkelanjutan jika kita mau melihatnya dari perspektif baru yang solutif.

Sebagian besar dari kita mungkin hanya menganggap kulit bawang putih sebagai sampah dapur yang tidak ada gunanya. Tetapi bagi Raihan, kulit bawang putih adalah sumber daya alternatif.

Raihan mampu mengumpulkan hingga 5 kilogram kulit bawang putih sekali ambil dari pasar Mangga Dua Wonokromo. Darinya, hingga awal November 2024, ia sudah mengolah lebih dari 2,5 kilogram menjadi pigmen tinta spidol.

Proses pembuatannya cukup sederhana tetapi penuh makna. Kulit bawang putih terlebih dahulu dikeringkan menggunakan oven hingga menjadi abu. Setelah itu, abu dicampur dengan polietilen glikol, air mineral, dan aquades.

Campuran ini lalu dihaluskan menggunakan blender hingga homogen. Hingga tahap terakhir adalah penyaringan, untuk memastikan tidak ada partikel kasar yang tersisa sehingga tinta lebih halus dan mudah digunakan.

Dengan proses tersebut, Raihan menunjukkan bahwa limbah organik pun bisa ditingkatkan nilainya, dari sekadar sampah dapur hingga menjadi produk yang bisa digunakan sehari-hari.

Relevan dengan Penelitian Ilmiah

Inovasi Raihan tentunya tidak berdiri sendiri. Sejumlah penelitian sebelumnya sudah menegaskan potensi kulit bawang putih yang dapat dijadikan sebagai sumber karbon untuk pigmen organik.

Misalnya, penelitian Wijayanti et al. (2003) serta Wiguna et al. (2014) menemukan bahwa kulit bawang putih mengandung karbon dalam jumlah cukup tinggi, yang dapat diolah menjadi bahan dasar tinta maupun material lain yang memiliki nilai ekonomi.

Dengan kata lain, Raihan berhasil menjembatani antara teori ilmiah dengan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Di usianya yang masih belia, Raihan sudah mampu membuktikan bahwa riset tidak hanya berhenti di jurnal, tetapi bisa diwujudkan menjadi inovasi yang bermanfaat.

Adapun manfaat ekologis dan ekonomisnya dari inovasi tersebut. Keunggulan tinta dari kulit bawang putih ini tidak hanya soal kreativitas, tetapi juga membawa dampak positif bagi lingkungan. Setidaknya memiliki tiga manfaat utama, yaitu:

1. Mengurangi limbah organik.

Limbah kulit bawang putih yang biasanya menumpuk di pasar dapat diolah kembali, sehingga tidak menambah beban tempat pembuangan akhir.

2. Mengurangi ketergantungan pada bahan kimia sintetis. Tinta komersial biasanya dibuat dari bahan kimia yang tidak ramah lingkungan. Dengan alternatif organik, kita bisa meminimalkan jejak karbon di bumi ini.

3. Memberi nilai ekonomi baru.

Produk ini berpotensi untuk dikembangkan lebih luas. Bayangkan jika sekolah-sekolah mulai memakai tinta ramah lingkungan ini, tentu dampaknya akan terasa sangat besar.

Peran Penting Dukungan Orang Tua dan Sekolah

Di balik keberhasilan inovasi ini, tentu ada dukungan penuh dari keluarga dan sekolah. Orang tua Raihan mendukung sepenuhnya upaya anaknya, sementara pihak sekolah memberikan ruang dan motivasi agar ide ini bisa berkembang.

Dukungan ekosistem seperti ini sangat penting, karena sering kali kreativitas anak muda padam hanya karena tidak ada tempat untuk diuji atau diapresiasi.

Raihan sendiri adalah finalis Pangeran Lingkungan Hidup 2024, sebuah bukti bahwa apa yang ia lakukan tidak sekadar proyek pribadi, melainkan bagian dari gerakan lebih besar untuk menyelamatkan bumi.

Kisah Raihan adalah pengingat bagi kita semua bahwa perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Mungkin tinta dari kulit bawang putih ini belum bisa menyaingi tinta komersial di pasaran dalam hal produksi massal.

Namun, sebagai gagasan, ia telah menanamkan bibit penting bahwa setiap orang bisa berkontribusi untuk bumi dengan cara kreatif sesuai lingkungannya.

Lebih jauh, inovasi ini mengajarkan pada kita tentang makna kemerdekaan ekologis. Sama seperti bangsa Indonesia yang meraih kemerdekaan melalui perjuangan, bumi pun butuh dibebaskan dari belenggu kerusakan lingkungan.

Kemerdekaan sejati bukan hanya soal terbebas dari penjajahan, tetapi juga soal membebaskan bumi dari beban sampah, polusi, dan eksploitasi berlebihan.

Inovasi Raihan dalam menciptakan tinta ramah lingkungan dari kulit bawang putih adalah contoh nyata bagaimana generasi muda bisa menjadi agen perubahan. Dari sesuatu yang dianggap sepele, ia menunjukkan bahwa ada solusi, ada harapan, dan ada masa depan yang lebih hijau.

Semoga langkah kecil ini dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk terus berinovasi, sekaligus mengingatkan bahwa cinta lingkungan bisa diwujudkan dengan cara sederhana namun berdampak besar.

Limbah kulit bawang putih yang tadinya hanya dianggap sampah, kini bisa menjadi tinta. Dan siapa tahu, dari tinta inilah akan lahir kisah-kisah baru tentang masa depan bumi yang lebih lestari.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?