Ulasan Novel Sang Keris: Kisah Perjalanan Sebilah Senjata Tikam

Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Ulasan Novel Sang Keris: Kisah Perjalanan Sebilah Senjata Tikam
Buku Sang Keris (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Sang Keris adalah Pemenang Kedua Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019.

Sama seperti judulnya, tokoh utama novel ini merupakan sebilah keris. Namanya Kyai Karonsih, akronim kekaron tansah asih, artinya: saling mencintai (hal. 4). Dibuat oleh Arya Matah, anak angkat empu keris Resi Kala Dite, melalui serangkaian ritual (hal. 32-33). Bentuknya ber-dhapur jangkung dengan tiga luk, bilahnya memancarkan cahaya yang sangat silau (hal. 34, 71).

Selama sekian masa, yakni sejak Kerajaan Hindu-Buddha, Kerajaan Islam, pendudukan Belanda, menjelang kemerdekaan Indonesia, hingga zaman terkini, keris berkekuatan magis ini selalu berganti-ganti tuan.

Sayangnya, sebagai senjata sakti, Kyai Karonsih selalu menimbulkan malapetaka bagi pemilik, tidak peduli sang pemilik tergolong pribadi baik atau jahat. Misalnya, pendorong perzinaan adipati dengan seorang putri yang kemudian membuat adipati dipenggal raja (hal. 2-3), penyebab terbunuhnya berandal pasar bernama Pulanggeni (hal. 7), muasal terbakarnya gedhong pusaka (hal. 10-12), dan pemicu kecelakaan pesawat yang ditumpangi  Eli, mahasiswi asal Prancis yang tengah meneliti budaya Jawa (hal. 107).

Semua nasib buruk yang ditimbulkan Kyai Karonsih, disebabkan karena, “... sebuah kodrat, siapa saja yang terlahir dari keberkahan luar biasa, selalu ingin unjuk gigi.” (hal. 10). Juga karena telah dipastikan bahwa, “ ... kelahiranmu akan banyak mengubah kisah hidup tuan-tuanmu.” (hal 34).

Kelebihan novel ini, di antaranya, memiliki alur yang tidak linear. Kadang maju, mundur, dan melompat ke kurun masa berbeda-beda.

Layaknya puzzle, menyusuri novel ini membuat pembaca harus menyusun sendiri kepingan-kepingan cerita yang disuguhkan secara terserak. Kualitas kedua, tiap-tiap bab, diuraikan dari sudut pandang berlainan.

Ada sudut pandang engkauan (hal. 2-18, 32-35, 61-63, 80-82), sudut pandang akuan (hal. 44-52), dan dia atau nama orang (hal. 83-107).

Sementara pada bab Sang Pencerah (hal. 41-43) tidak jelas sudut pandang yang digunakan, sebab isinya hanya dialog entah siapa?

Kualitas ketiga, yakni muatan pengetahuan tentang ritual dan urutan cara membuat keris beserta detail bagian juga maknanya (hal. 4, 6, 32-34, 38-39, 62).

Kualitas keempat, yaitu adanya perlambang di banyak bagian novel. Umpamanya, perjalanan Kyai Karonsih yang lintas masa adalah perlambang betapa nafsu akan kekuasaan senantiasa hadir dalam denyut-alir darah manusia, sepanjang kurun waktu.

Sementara kehadiran Kyai Karonsih sendiri menyimbolkan bahwa keahlian yang terlalu mumpuni, malah membahayakan bahkan menghancurkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak