Menelusuri Sepuluh Cerpen Lincah dalam Buku Mantra Ki Pandeng

Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Menelusuri Sepuluh Cerpen Lincah dalam Buku Mantra Ki Pandeng
Buku Mantra Ki Pandeng (Dokumentasi Pribadi/Thomas Utomo)

Mantra Ki Pandeng adalah buku kesekian karya Titin Alfiatin, guru SD Negeri 2 Bojongsari, Purbalingga. Buku ini disunting oleh Budi Soekarno dan diterbitkan oleh Trik Jitu Purbalingga.

Menjelang akhir tahun 2021, buku kumpulan cerita pendek ini meraih Juara I Lomba Penulisan Buku Tingkat Kabupaten yang dihelat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Purbalingga.

Apa saja keistimewaan cerita-cerita dalam buku ini? Mengapa dia dapat menduduki aras tertinggi dalam lomba penulisan buku?

Di dalam buku setebal vi + 178 halaman ini, terdapat sepuluh cerita pendek. Masing-masing bertajuk: (1) Aurum, (2) Keping-keping Cinta Harsa, (3) Mantra Ki Pandeng, (4) Senyuman Takdir, (5) Sinetron, (6) Tas Branded, (7) Romansa Sarung Biru, (8) Lancung, (9) Temanku Punya Kawan, (10) Seratus Bintang untuk Dia.

Secara umum, cerita pendek di dalam buku ini memiliki cara bertutur yang lincah. Pilihan bahasa yang digunakan pengarang terbilang baik dan menarik, jauh dari pilihan kata yang itu-itu melulu.

Tengok penutup cerita pendek berjudul Lancung, halaman 150,

"Winarni meninggalkan area gedung seiring senja yang mulai menjura. Isi kepalanya tak beda dengan semrawut lalu lintas kota saat jam pulang kerja. Hatinya disunduti puntung-puntung penyesalan karena telah menciptakan kepalsuan."

Atau, "Langit enggan meminang bintang-gemintang. Gelap pekat menungi alam raya hingga subuh berkumandang." (Keping-keping Cinta Harsa, halaman 39).

Cukup menarik bukan?

Menyusuri buku ini, pembaca akan menemui kata-kata seperti "sahmura" (halaman 26) dan beberapa kata lain yang menggelitik rasa ingin tahu, apa artinya?

Beragamnya pilihan kata yang digunakan, menunjukkan kalau pengarang memiliki perbendaharaan kata yang kaya. Ini tidak akan terjadi jika pengarang tidak rajin membaca.

Dengan demikian, sudah pasti, untuk dapat menulis cerita dengan pilihan kata yang tidak monoton, mutlak dibutuhkan ketekunan untuk "menabung kata-kata" lewat aktivitas membaca, apapun ragam bacaannya.

Dalam mengawali cerita, pengarang langsung masuk ke tengah-tengah kisah, tanpa bertele-tele memperkenalkan tokoh maupun memaparkan kondisi cuaca layak cerita pendek anggitan guru pada umumnya.

Simak misalnya, pembukaan cerita pendek Aurum,

"Niat awal ayahku sebenarnya adalah memberi nama Arum pada kakak perempuanku. Jika sekarang tertulis Aurum di surat kelahirannya, itu bisa dipastikan karena kesalahan juru tulis di balai desa yang kelebihan huruf u saat mengetikkan nama."

Dalam mengakhiri cerita, pengarang menggunakan macam-macam formula. Ada yang diakhiri pertanyaan (Lancung, halaman 151), dengan ending menghentak (Temanku Punya Kawan, halaman 163), atau ditutup dengan kesimpulan (halaman Senyuman Takdir, halaman 89, Seratus Bintang untuk Dia, halaman 176).

Dalam perkara teknis, ditemui sejumlah kesalahan ketik dalam buku kumpulan ini. Misalnya, "di dengar" (halaman 2), seharusnya "didengar", "dia kah" (halaman 58), seharusnya "diakah", "de ja vu" (halaman 89), sebaiknya ditulis "deja vu", "kriting" (halaman 178), seharusnya "keriting", dan sebagainya (serta beberapa penempatan tanda baca yang kurang tepat). 

Tetapi, kesalahan ketik atau kekurangsempurnaan dalam perkara penyuntingan tersebut tidak terlalu menganggu kelancaran membaca cerita.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak