Pemilik nama lengkap Haji Abdul Karim Amrullah, namum lebih dikenal dengan nama Hamka. Nama kecilnya Abdul Malik, nama “Karim” diambil dari nama ayahnya Haji Abdul Karim, sedangkan “Amrullah” diambil dari nama kakeknya Syekh Muhammad Amrullah. Hamka lahir di Ranah Minangkabau, desa Kampung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian Danau Minanjau, Luhak Agam, Sumatra Barat, tepat pada 16 Februari 1908 M, seperti dikutip dalam buku, “Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan” karangan Johan Prasetya.
Sosok Hamka memang dikenal sebagai tokoh penganut Islam dengan tegas memperjuangkan ajarannya, ia pun termasuk tokoh Muhammadiyah serta menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1977. Semasa jabatannya, Hamka banyak mengeluarkan fatwa salah satunya penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan dan mengecam kebijakan diperbolehkannya perayaan Natal bersama umat Nasrani.
Perjalanan Hamka untuk memperoleh pendidikan bisa dibilang cukup baik, di usianya dua belas tahun Hamka dikirim oleh Haji Rasul untuk belajar kepada Syekh Ibrahim Musa di Parabek. Dari situlah Hamka mulai rajin membaca, ia banyak mempelajari karya-karya sastra, baik yang berbahasa Melayu maupun bahasa Arab.
Pada tahun 1924, Hamka merantau ke pulau Jawa dan menetap di Yogyakarta, hal itu dilandasi karena ketertarikannya kepada tokoh-tokoh pergerakan yang ada di Jawa. Dari sanalah, Hamka aktif mengikuti kursus-kursus yang diadakan oleh Sarekat Islam (SI) bahkan masuk dalam organisasi tersebut yang nantinya akan menjadi partai.
Dalam suatu kesempatan, Hamka belajar langsung kepada H.O.S Tjokroaminoto sebagai pemimpin Sarekat Islam, belajar Sosiologi kepada Soerjopranoto, Filsafat dan Sejarah (Islam) dari Kiai Mas Mansur, dan Tafsir dari Ki Bagus Hadikusumo. Hamka juga menemui A.R Sutan Mansur sebagai Ketua Muhammadiyah Pekalongan, dari situ pula Hamka banyak belajar ilmu agama dan ilmu organisasi.
Pad tahun 1927, Hamka berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam pengetahuan islam kepada ulama-ulama yang ada di sana. Hamka belajar langsung kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Di samping itu, saat Hamka di Makkah ia bertemu dengan Haji Agus Salim.
Perjumpaannya dengan tokoh Muhammadiyah itu disarankan agar Hamka pulang kampung dan mengabdikan dirinya dalam perjuangan tanah air. Tidak lama berselang, Hamka pun pulang kampung dan lebih memilih untuk menetap di Medan. Nanti baru pulang ke Padang Panjang setelah dijemput oleh A.R Sutan Mansur.
Pada tahun 1928, Hamka diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Bersama dengan pengurus Muhammadiyah lainnya, ia pun mendirikan madrasah Kulliyatul Muballighin, saat itu juga Hamka ditunjuk sebagai kepala sekolah sekaligus pengajar.
Saat terjadi Agresi Militer Belanda II, Hamka juga terlibat dalam pertempuran. Saat itu sebagai pengurus Muhammadiyah membuat ia banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional menjadi sangat erat. Hamka banyak berdiskusi dengan Haji Agus Salim yang dikenal sebagai ulama yang mempunyai pengetahuan sangat mempuni.
Melalui Muhammadiyah, karier Hamka pun terus berlanjut. Pada Konferensi Muhammadiyah di Sumatra Barat (1946), Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatra Barat. Jabatannya itu pun diemban hingga tahun 1949. Pada kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya, ia pun terpilih sebagai anggota Pimpinan Pusat. Lalu pada tahun 1971, Hamka ditetapkan sebagai Penasihat Pimpinan Muhammadiyah hingga ia meninggal.