Menyusuri Percik Drama Keluarga Hingga Asmara dalam Novel 'Besali'

Candra Kartiko | Thomas Utomo
Menyusuri Percik Drama Keluarga Hingga Asmara dalam Novel 'Besali'
Novel Besali. (Dok. Pribadi/Thomas Utomo)

Besali adalah bengkel pandai besi milik keluarga Lohita. Sehari-hari dikelola Pak Pande, ayah Lohita dan Sapta, pemuda kepercayaannya. Suatu ketika, Pak Pande meninggal. Di hari mangkatnya itu, Lohita menerima surat dari sang ayah. Isinya wasiat untuk terus menjalankan Besali.

Pesan itu adalah amanah. Harus dijalankan. Lohita bimbang. Dia perempuan. Sehari-hari bekerja mengurusi toko buku. Bagaimana dia harus mengurusi bengkel pandai besi, dunia yang sama sekali tak dikuasainya? Dan mengapa Pak Pande menitipkan bengkel tersebut kepadanya, si bungsu, bukan kepada ketiga kakaknya laki-laki?

Sebetulnya, dalam surat, Pak Pande menyebut nama Sapta. Ini memunculkan kebimbangan berikut. Bagaimana dia akan minta bantuan pemuda berambut ikal itu? Sudah tiga tahun dia membentangkan jarak. Tak lagi bercakap-cakap, pun sekadar tegur sapa.

Dalam kebimbangan, Lohita memilih menutup Besali hingga 100 hari lamanya. Dia berdalih, masih masa berkabung. 

Sapta, pegawai ayahnya, tidak dia kabari mengenai kelanjutan Besali. Sapta sendiri tidak bertanya kepada Lohita. Sebab sadar, Lohita menghindarinya. Dia memilih menunggu sambil bekerja sebagai kuli lepas di proyek pembangunan jembatan.

Dengan bantuan Rey, pelanggan toko buku yang kemudian jadi karibnya, Lohita memasang iklan lowongan pandai besi untuk mengurusi Besali. Iklan itu sampai pula kepada Sapta. Membuat pemuda bertanya-tanya, apakah Lohita tidak menghendakinya bekerja kembali di Besali? Apakah kemampuannya sudah tak dihargai?

Ini adalah kali pertama saya membaca cerita panjang karangan Shabrina Ws. Sebegitu menyusuri halaman satu, dua, tiga novel ini, seperti ada jaring-jaring halus dan tak tampak, yang menjerat lalu menarik saya kuat-kuat untuk terus membaca lembar demi lembar sampai habis.

Kendati tema yang diangkat relatif umum, namun pengarang mengolahnya sedemikian rupa sehingga enak sekali dinikmati. Konflik-konflik yang dimunculkan, bukan konflik yang amat besar. Justru, cukup ringan, namun dekat dengan keseharian, seperti hubungan kakak-adik yang kurang rekat, tetangga yang terlalu suka mengurusi orang lain hingga perkara kecil, kecanggungan antara anak dengan orang tua tiri, dan sebagainya.

Pilihan kata yang digunakan pengarang, terbilang puitis, empuk, dan berdaya pikat.  Kelebihan lain, ialah soal deskripsi tempat. Penggambaran Pacitan sungguh amat meyakinkan. Termasuk eksotika pantai-pantainya. Jelas karena pengarang adalah warga asli Pacitan. Setiap lekuk tempat ini telah dia kenal dan kuasai dengan baik.

Sebagai pembaca 'pemula' bagi karya Shabrina Ws, tampaknya, saya akan mencari novel lain karya pengarang ini untuk dinikmati.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak