Ulasan Novel 'Sebuah Surau', Merenungi Karakter Welas Asih Kanjeng Nabi

Hernawan | Sam Edy Yuswanto
Ulasan Novel 'Sebuah Surau', Merenungi Karakter Welas Asih Kanjeng Nabi
Novel "Sebuah Surau" (Dokumen pribadi/ Sam Edy)

Kanjeng Nabi Muhammad Saw. adalah sosok yang memiliki karakter “welas asih” terhadap sesama manusia bahkan terhadap seluruh makhluk ciptaan-Nya. Menurut pemahaman saya, welas asih dapat dimaknai dengan kasih sayang atau sifat mengasihi.

Karakter welas asih kanjeng nabi juga tampak begitu jelas ketika beliau sedang bersama orang-orang nonmuslim. Bahkan terhadap mereka yang berusaha menyakiti hati, beliau tetap berupaya mempergaulinya dengan baik.

Karenanya tak heran bila perilaku mulia nabi mampu menyentuh hati orang-orang nonmuslim hingga akhirnya sebagian dari mereka memutuskan untuk memeluk agama Islam. 

Perilaku mulia nabi tersebut mestinya selalu menjadi teladan bagi umat Islam di dunia ini. Terlebih di era sekarang, di mana orang-orang begitu mudah menghakimi, melaknat, dan mencaci sesama. Bahkan, sebagaimana kerap kita lihat, sesama muslim pun ada yang begitu tega menyakiti dan begitu gampangnya melabeli “kafir” gara-gara berbeda pemahaman tentang masalah agama.

Bicara tentang perilaku welas asih Nabi, kita bisa menyimak novel berjudul “Sebuah Surau” karya Artie Ahmad (Diva Press, 2021). Dalam novel tersebut penulis berusaha menguraikan karakter atau perilaku mulia Rasulullah Saw. yang berusaha ditanamkan dalam kehidupan keseharian para tokoh novel tersebut. 

Dikisahkan, Kiai Moekti merupakan sosok pemuka agama yang memiliki sikap welas asih terhadap sesama. Keramahan sikapnya terhadap semua orang menjadi cara baginya untuk meneladani akhlak terpuji Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Sekembalinya dari berhaji, Kiai Moekti mendirikan sebuah surau atas permintaan ayah angkat sekaligus mertuanya, yakni Tuan Ali. Mertuanya itu menganggap sudah waktunya bagi Kiai Moekti untuk memberikan pengajaran agama di tanah kelahirannya. 

Maka, berdirilah surau itu di tengah Dukuh Atas, di tanah yang bagus, tanah milik keluarganya, tak jauh dari rumah lama orangtua kandungnya. Rumah orangtuanya telah lama hancur. Selain mendirikan surau, ia juga mendirikan kembali rumah yang telah porak-poranda itu.

Sebagian orang di dukuh tersebut masih begitu asing dengan ajaran agama yang dibawakan oleh Kiai Moekti. Mereka bukannya tak mengerti tentang apa itu agama, tapi mereka belum benar-benar menemukan cara terbaik untuk beragama secara benar. 

Banyak warga dukuh yang mengaku beragama Islam, tapi mereka belum bisa bersembahyang lima waktu. Kiai Moekti lantas dengan telaten dan penuh kesabaran mengajarkan cara bersembahyang, bersedekah, berpuasa, dan berzikir. 

Beliau juga menjadikan surau yang berdiri di pusat dukuh itu sebagai madrasah. Pada awalnya, belum banyak orang yang mau datang ke surau. Namun beliau tak kehabisan akal dan berusaha mencari cara agar orang-orang di kampungnya merasa tertarik untuk mendalami agama Islam. 

Alat rebana atau “terbangan” menjadi cara bagi Kiai Moekti untuk menarik minat masyarakat terhadap ajaran Islam. Alat tersebut dijadikan beliau sebagai sarana untuk melantunkan selawat nabi.

Hingga pada suatu hari, tepatnya ketika hujan turun dengan begitu derasnya, serombongan orang datang menemui Kiai Moekti. Mereka adalah demang, beberapa mantri dan polisi, yang menginginkan tanah surau itu untuk keperluan mendirikan kantor pantau. 

Tentu saja Kiai Moekti menolak karena tanah yang digunakan untuk mendirikan surau tersebut merupakan tanah milik ayahnya untuk diwakafkan menjadi sebuah surau.

Singkat cerita, Kiai Moekti tak mampu berbuat apa-apa selain menerima keputusan sepihak tersebut. Sejatinya, sungguh berat rasanya membiarkan tanah surau itu dirampas dan digantikan dengan bangunan surau yang baru yang lokasinya berada di Dukuh Luar. 

Tentu saja usaha perampasan itu di luar kemampuan Kiai Moekti. Ancaman datang, pemaksaan digencarkan untuk melancarkan pelepasan tanah surau. Surau lama pun dirobohkan untuk kepentingan penguasa yang sewenang-wenang. Tak lama kemudian, surau baru pun didirikan di Dukuh Luar atau tanah bawah Dukuh Atas. 

Perjuangan Kiai Moekti menyebarkah dakwah Islam dengan terus mengedepankan akhlak mulia Kanjeng Nabi rupanya masih terus diwarnai beragam ujian yang berat. Terlebih ketika salah satu murid kesayangannya, Ibrahim, tewas mengenaskan setelah kepergok memiliki hubungan spesial dengan Marie, gadis Belanda yang adalah putri Kepala Polisi yang terkenal kejam dan tega melakukan beragam cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Termasuk menyuruh orang-orang untuk menangkap dan menyiksa Ibrahim hingga akhirnya meregang nyawa.

Ada banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari novel berlatar penjajahan Belanda di bumi tercinta ini. Di antaranya tentang pentingnya sikap sabar dan menahan emosi ketika berhadapan dengan orang-orang jahat, sikap jujur yang harus selalu diprioritaskan ketika berdagang, dan pentingnya meminta maaf terhadap orang yang pernah kita sakiti hatinya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak