Buku “Remah-Remah Bahasa: Perbincangan dari Luar Pagar” karya Eko Endarmoko ini sangat menarik dibaca oleh para guru, dosen, siswa, mahasiswa, praktisi pendidikan, dan juga masyarakat luas.
Buku ini akan membantu kita memahami cara berbahasa Indonesia yang baik dan tepat sesuai kaidah yang sudah disepakati bersama.
Ada empat pembahasan penting yang dipaparkan dalam buku terbitan Bentang Yogyakarta (2017) ini. Pembahasan pertama tentang “aturan berbahasa, aturan kita.”
Pembahasan kedua, “memaknai kaidah bahasa”. Pembahasan ketiga, “kesantunan dalam berbahasa”. Dan pembahasan terakhir perihal “bahasa dalam komunikasi”.
BACA JUGA: Gempuran Bahasa Asing terhadap Eksistensi Bahasa Indonesia di Era Globalisasi
Menurut Eko Endarmoko, banyak kata berseliweran, datang dan pergi begitu saja sering tanpa kita sadari. Berbarengan dengan hadirnya sejumlah kata baru lewat berbagai cara, sekian banyak kata lain mulai jarang dipakai, pudar, dan kemudian lambat-laun lenyap.
Bukan punah, kecuali apabila masyarakat pendukung atau penuturnya sudah tak ada lagi sehingga bahasa itu tidak berkembang lagi, seperti bahasa Latin atau bahasa Jawa Kuno.
Yang jelas, kata baru datang ke tengah pergaulan kita dengan misi atau maksud tertentu, yaitu menjadi wakil benda-benda atau konsep yang baru. Bahasa di situ ikut dimutakhirkan sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan.
Apakah nanti sebuah kata baru diterima, atau sebuah kata lama ditinggalkan—kata berikut maknanya yang labil—nasib mereka sepenuhnya berada di tangan kita, para penutur bahasa (Indonesia), bukan di tangan para pekamus atau perencana bahasa (hlm. 14).
Dalam bahasa sehari-hari, kita mengenal singkatan kata, atau kata yang disingkat. Sebenarnya, bagaimana para pakar bahasa memandang atau menyikapi fenomena kata-kata yang disingkat-singkat tersebut?
BACA JUGA: 5 Alasan Nilai Ujian Bahasa Indonesia Siswa Lebih Kecil dari Bahasa Inggris
Eko Endarmoko menjelaskan bahwa kependekan kata atau lebih lazim disebut singkatan pernah membuat gundah sekelompok pemerhati bahasa Indonesia karena pemakaiannya, terutama di media cetak dan media sosial, dianggap sudah sangat keterlaluan sampai-sampai mengancam bakal merusak bahasa Indonesia.
Bagaimana bisa bahasa Indonesia—rumah bersama segenap penduduk Indonesia—menjadi rusak oleh pemakaian singkatan? Apakah yang mendorong orang memendekkan kata?
Bagi sebagian orang, ketika pikiran berjalan lebih cepat dari perbuatan menulis, atau bicara seorang narasumber lebih laju dari pencatatan oleh penanya, dorongan menyingkat kata sukar dihindari. Maka, meluncurlah bentuk-bentuk singkat yg (yang), th (tahun), sbg (sebagai), sdg (sedang), dst (dan seterusnya).
Singkatan mungkin juga hadir karena ada keperluan menggambarkan konsep dasar kuantitas, satuan, atau unsur kimia. Singkatan dapat pula terbentuk karena ada keperluan menyimbolkan sesuatu, memadatkan nama diri. Misalnya akronim ABRI yang merupakan singkatan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (hlm. 56-57).
Terbitnya buku ini layak diapresiasi dan dapat dijadikan sebagai salah satu buku panduan yang akan semakin memperkaya pengetahuan kita tentang cara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS