Sebelum kematian merenggung nyawa Nietzsche pada 1900 karena menderita pneumonia dan stroke, ia menyembatkan diri menulis sebuah autobiografi tentang dirinya sendiri. Sebuah tulisan aforisme yang ia sajikan dalam bentuk reflektif tentang dirinya sendiri. Mempertanyakan tentang dirinya dan kemudian menjawab pertanyaannya sendiri.
“Mengapa Aku Begitu Pandai” adalah salah satu tulisan autobiografi filsuf yang memiliki nama panjang Friedrich Wilhelm Nietzsche itu. Sebuah autobiografi yang unik, yang berbeda, yang tak seperti kebanyakan teks serupa.
Tulisan yang diterjemahkan Noor Cholis ini tidak mengungkapkan sebuah silsilah keluarga, tak mengungkapkan sebuah kelahiran seseorang, tak mengungkap latar pendidikan atau semacamnya. Melainkan tulisan yang diterbitkan oleh penerbit Circa ini lebih mengungkapkan kedirian Nietzsche dari segi pola pikirnya, cara berdialektikanya, kegemarannya, maupun skill yang dimilikinya.
Teks “Mengapa Aku Begitu Pandai” adalah potongan dari autobiografi utuhnya yang diberi judul “Ecce Homo,” atau Lihatlah Manusia itu! Oleh karenanya, tidak mengherankan ketika buku yang berisi empat bab ini tidak begitu tebal, hanya berjumlah 123 halaman lebih. Namun, meskipun tidak begitu banyak halaman, buku ini memuat berbagai eksplorasi dalam otak Nietzshe.
Di bab pertama, kita diajak menyelami kebijaksanaan versi Nietzsche, “Mengapa Aku Begitu Bijaksana.” Di bab bagian awal ini, si filsuf kondang itu hendak mengatakan bahwa dirinya adalah individu yang kontradiktif. Seperti yang diomongkannya, “walaupun aku adalah seorang dekaden, aku juga adalah antitesisnya.”
Kemudian di bab kedua, Nietzsche banyak berbicara tentang dirinya yang menolak kemapanan, tentang apa yang disebut kebenaran, kebiasaan membaca, penderitaan akan keramaian, dan lain sebagainya. Selanjutnya, ia membincangkan tentang berbagai hal mengapa dirinya menghasilkan karya-karya menarik, menyampaikan syair-syair yang sinis, tajam dan mendayu.
Terakhir, sebagai penutup, buku yang terbit pada tahun 2019 ini menyisipkan beberapa aforisme, sajak-sajak, secerca argumen dari Nietzsche tentang benci dan cinta. Beberapa kutipan yang paling terkenal misalnya, “permintaan agar dicinati adalah jenis arogansi yang paling besar.” Ada juga aforisme yang menarik lainnya seperti, “teman terbaik barangkali akan menjadi istri terbaik, karena sebuah perkawinan yang baik didasarkan pada bakat akan persahabatan.”
Buku “Mengapa Aku Begitu Bijaksana” adalah buku yang menarik untuk dibaca. Memberikan wawasan kepada pembacanya untuk melihat sisi yang berbeda untuk kualitas diri. Namun, bagi anda yang kurang begitu familiar dengan gaya tulisan Nietzsche, tentu akan kepayahan membacanya. Pasalnya, teks yang dihasilkan Nietzsche itu penuh dengan syair yang mendaki-daki, alegori-alegori yang kemana-mana. Walhasil, setiap kata yang dipilih Nietzsche memiliki beribu makna.
Saya menyarankan bagi pemula yang hendak membaca Nietzsche, seharusnya membaca berulang, luaskan imajinasi Anda, terbiasalah dengan alegori-alegori majas, dan jangan anti pada perspektif out of the box. Nietzsche adalah individu yang unik, jadi jangan heran ketika menemukan banyak hal yang bertolak belakang dengan pola pikir masyarakat.