Review Film Sehidup Semati, Sebuah Pengingat Bahaya KDRT

Hernawan | Athar Farha
Review Film Sehidup Semati, Sebuah Pengingat Bahaya KDRT
Foto Film Sehidup Semati (Instagram/@sehidupsematifilm)

Film Sehidup Semati karya sutradara Upi Avianto, telah dirilis pada 11 Januari 2024, di seluruh bioskop Indonesia. Dengan genre Thriller Horror, yang padahal lebih tepatnya: Psychological Thriller.

Film ini cukup menarik bagi penonton yang menyukai suasana tegang dan suspense. Deretan aktor papan atas seperti Laura Basuki, Ario Bayu, dan Asmara Abigail turut ambil bagian. Skenario ditulis langsung oleh Upi Avianto, yang mengungkapkan ide untuk film ini sudah ada sejak 13 tahun yang lalu. 

Film Sehidup Semati menggambarkan lika-liku kehidupan rumah tangga Renata (Laura Basuki) dan Edwin (Ario Bayu). Pernikahan yang dulunya indah dan penuh romantisme, seiring waktu, terkikis oleh perubahan sikap Edwin, yang terlibat dalam KDRT dan perselingkuhan.

Renata yang sejak kecil diajarkan bahwa hakikat seorang istri yaitu mengabdi kepada suami dan menjaga keutuhan rumah tangga, membuat Renata meyakini dirinya harus tetap mempertahankan rumah tangga. 

Suatu ketika, selingkuhan Edwin terkuak, ialah Ana, tetapi dikatakan telah meninggal. Renata juga mencari dukungan dari tetangga apartemennya, Asmara. Meski Asmara tampaknya sekadar tetangga, Renata menemukan bahwa Asmara pun punya rahasia.

Edwin semakin dingin dan kasar, sementara Renata berusaha menjaga rumah tangganya, dengan rentetan teror dari sosok Ana, dan misteri yang bikin merinding. 

Ulasan:

Film Sehidup Semati menggambarkan kisah yang menyoroti bahaya dan kerusakan yang disebabkan oleh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sutradara, Upi, cukup berhasil mengeksekusi film ini, meskipun nggak sekuat karya sebelumnya, "Belenggu," yang memiliki genre hampir serupa.

Asmara Abigail berhasil menampilkan akting yang penuh totalitas, mampu memperlihatkan kegilaannya hingga mencuri perhatian penonton. Chemistry yang kuat antara Laura Basuki dan Ario Bayu sebagai pasutri toxic, terlihat sangat meyakinkan.

Meskipun sebagian besar setting berada di dalam apartemen, pengambilan gambar yang kreatif, agaknya menjadi cukup unik di tengah nuansa sempit dan pengap yang terasa nyata. 

Nuansa misteri dan horornya, juga berhasil dibangun dengan baik, walaupun terkadang terasa agak dipaksakan. Hanya saja, penggunaan color grading yang terlalu gelap dan biru, itu agak mengganggu, walaupun mungkin bermaksud untuk mencerminkan kehidupan batin tokoh utama, menurutku terlalu berlebihan.

Berhubung pengambilan gambar seringnya di dalam apartemen, dengan color grading serupa, aku jadi agak kesulitan untuk tahu, apakah pada scene itu, terjadi pada waktu: pagi, siang, sore, atau malam. Entahlah. 

Efek jumpscares dalam film ini memang ada, tapi sayangnya terasa berlebihan, dan menjurus keluar konteks. Terlepas filmnya melibatkan KDRT, misteri, dan unsur horor, tapi nyatanya nggak semua film dengan unsur tersebut harus disertai jumpscare.

Kehadiran sosok dukun dalam film ini juga terasa hanya dipaksakan untuk menambah elemen horor. Twist akhir film, meski diberikan beberapa clue, menurutku sedikit berlebihan dan bisa disajikan dengan lebih subtil.

Nggak hanya itu, intensitas film juga terasa mengendur pada paruh tengah hingga akhir, membuatnya terasa agak membosankan. Ini terasa banget, dengan durasi ratusan menit saja, tetapi terasa lama sekali.

Dengan pertimbangan ini, aku memberikan skor 6,5/10. Silakan ditonton dengan catatan turunkan ekspektasi saat menonton. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak