Ditulis, disutradarai, dan diproduseri oleh Noora Niasari, "Shayda" pertama kali tayang perdana di Festival Film Sundance pada 19 Januari 2023, lalu masuk jajaran Official Selection dalam TIFF. Film ini kemudian menjadi perwakilan Australia dalam kategori Best International Feature Film untuk Academy Awards 2024.
Film "Shayda" mengisahkan hidup Shayda, yang diperankan Zar Amir Ebrahimi, seorang ibu muda yang melarikan diri dari suaminya yang kasar, Hossein (Osamah Sami). Bersama putrinya, Mona (Selina Zahednia), Shayda mencari perlindungan di Australia dan bertemu dengan Joyce (Leah Purcell), seorang pekerja sosial yang membantu mereka. Namun, Shayda nggak bisa tenang begitu saja karena gangguan Hossein. Menarik, ya.
Ulasan:
Melihat scene ‘Hossein yang kasar pada istrinya, Shayda’, rasa-rasanya cukup tepat kalau yang jadi pembahasan adalah tentang kekerasan dalam rumah tangga. Shayda, jelas korban kekerasan rumah tangga yang menghadapi berbagai tantangan dan dilema dalam hubungannya dengan suaminya, sampai-sampai melarikan diri.
Pendapatku tentang representasi kekerasan rumah tangga dalam film tersebut, tergambarkan dengan jelas dan memilukan, betapa merusaknya dampak kekerasan pada korban. Melalui karakter Shayda, penonton disajikan dengan pengalaman yang menyentuh tentang penderitaan fisik dan batin yang dialami oleh korban kekerasan rumah tangga.
Inti dari film ini adalah untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas dan keberanian yang diperlukan bagi korban ‘kekerasan’ untuk memutuskan mencari perlindungan dan kebebasan. Shayda, dengan segala keteguhan hatinya, berusaha untuk membebaskan dirinya dan putrinya dari situasi yang berbahaya dan nggak sehat.
Selain itu, inti film juga menggarisbawahi pentingnya dukungan sosial dan bantuan bagi korban kekerasan. Dengan bantuan dari Joyce, Shayda dan Mona menemukan kekuatan dan harapan untuk membangun kembali hidup mereka.
Dan puncak kekuatan "Shayda" terletak pada akting luar biasa dari para pemerannya. Zar Amir Ebrahimi berhasil membawa karakter Shayda menjadi hidup, menunjukkan kompleksitas perasaannya dengan penuh kekuatan dan kelemahan. Dia menggambarkan pertarungan batin Shayda dengan sangat menyentuh, memperlihatkan rasa cinta, takut, dan marah yang bertabrakan di dalam dirinya.
Selina Zahednia juga mencuri perhatian sebagai Mona, menampilkan ketidakpastian dan ketegaran yang luar biasa untuk seorang anak kecil yang telah mengalami trauma. Kedekatan antara keduanya menjadi inti emosional dari film ini.
Penyutradaraan Noora Niasari dengan gaya yang sederhana tapi efektif, berhasil menggambarkan kehidupan Shayda dan Mona dengan realisme yang menyentuh. Niasari mampu menangkap nuansa emosional, tanpa jatuh ke dalam melodrama yang berlebihan. Dia juga menggunakan simbolisme budaya Iran dengan bijak, mengaitkan cerita dengan tradisi Nowruz.
Sekadar info, Nowruz adalah perayaan Tahun Baru Persia yang diperingati oleh berbagai budaya di seluruh dunia, terutama di wilayah Iran, Asia Tengah, dan sebagian Kaukasus. Tradisi Nowruz memiliki akar yang sangat kuno dan menandai awal musim semi serta awal tahun baru dalam kalender Iran. Tradisi ini diwarisi dari generasi ke generasi dan menjadi simbol harapan, kebahagiaan, dan kesuburan untuk tahun yang akan datang.
Sinematografi oleh Sherwin Akbarzadeh telah memberikan nuansa visual yang berhasil menangkap suasana hati dengan tepat untuk setiap adegan. Namun, meskipun "Shayda" memikat dan menginspirasi, beberapa bagian dari ceritanya terasa agak terprediksi. Namun, pesan yang disampaikan, tetap kuat dan relevan.
Jadi secara subjektif, "Shayda" layak ditonton. Skor dariku: 9/10. Selamat nonton, ya.