Ada yang sudah nonton Film Kromoleo? Jika belum, kamu bisa lanjut baca impresi tentangnya sampai tuntas ya. Film tersebut disutradarai Anggy Umbara, dan sejujurnya cukup mengundang banyak perhatian dengan menggali kisah urban legend dan ‘isu terkait pelanggaran HAM’. Pada dasarnya Kromoleo semenarik itu.
Masih jelas di ingatan, sosok Anggy Umbara sempat memicu kontroversi dengan ‘Film Vina: Sebelum 7 Hari’. Dan kali ini, dia mencoba mengulik sejarah kelam Indonesia melalui “Kromoleo”. Namun, meski tema yang diangkat memiliki potensi besar, sayangnya film ini nggak berhasil jadi film horor berkualitas dan mengecewakan penonton.
Film Kromoleo berlatar tahun 1984 di Desa Majenang, Jawa Tengah. Kisahnya diawali dengan kedatangan Zia (Safira Ratu Sofya), yang datang dari kota untuk menghadiri pemakaman ibunya. Meskipun dilarang oleh kakeknya, Danang (Tio Pakusadewo), Zia tetap memutuskan untuk pergi ke desa tersebut. Tujuannya ternyata bukan hanya untuk pemakaman, melainkan juga untuk mencari ayahnya, Djarot (Cornelio Sunny), yang hilang secara misterius saat Zia berusia 10 tahun. Namun, kedatangannya membawa malapetaka, desa tersebut diselimuti oleh teror kromoleo—hantu keranda yang menyebabkan kematian tragis pada warga desa yang melihatnya. Adakah yang salah dari Zia?
Ulasan:
Menarik, kan? Aku berhasil dibuat penasaran. Tapi memang, Anggy Umbara tampaknya mengulangi formula yang sama dalam Film Kromoleo. Gini lho, film ini seharusnya memanfaatkan kisah urban legend untuk menyoroti pelanggaran HAM di masa lalu, tapi hasil akhirnya malah terasa seperti produk ‘kurang menggigit’, ‘nggak matang’, pokoknya nanggung! Film Kromoleo gagal memanfaatkan tema besar yang ada dengan baik, dan tampak cuma mengandalkan teror generik untuk menarik perhatian. Ugh!
Bahkan, pengembangan ceritanya begitu dangkal. Duh, sebenarnya latar belakang sejarah yang diangkat memiliki potensi untuk mengeksplorasi konfliknya, tapi sayangnya film ini lebih memilih untuk fokus pada teror dan jumpscare yang nggak efektif banget! Bahkan, ada teknik ‘zoom in’ dan ‘zoom out’ yang berlebihan, ditambah dengan ‘build up’ monoton, sampai-sampai dalam hati aku bertanya, ‘Gini amat ya?’
Padahal peran Safira Ratu Sofya sebagai Zia menurutku cukup maksimal. Cuma sangat disayangkan saja, terkait keputusan kreatif dalam film ini yang lebih menekankan efek visual ketimbang ceritanya. Belum lagi terkait adegan-adegan tertentu, yang malah berakhir dengan kesan konyol, seolah-olah film ini nggak serius dalam menangani materi horor yang diusung. Satu di antara scene yang konyol menurutku: ‘Wig yang dipakai setan dan kelihatan banget rambut palsunya. Seram kagak, konyol iya!’
Sekali lagi, Film Kromoleo itu punya potensi! Khususnya mengeksplorasi isu-isu besar seperti latar belakang Petrus (penembak misterius), tapi eksekusi bagian penting itu sangat minim. Twist yang disajikan di akhir cenderung ‘bego’ dan malah menambah kesan bahwa film ini cuma usaha mengeruk cuan.
Begitulah impresi terkait Film Kromoleo. Lagi-lagi ini cuma soal selera. Yang jelas, Film Kromoleo gagal memenuhi ekspektasi, tapi nggak sepenuhnya buruk ya. Skor dariku: 3/10. Selamat menanti “Kromoleo” tayang streaming ya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.