Ulasan Buku Susah Payah Mati di Malam Hari Susah Payah Hidup di Siang Hari, Tolak Romantisasi Hujan dan Senja

Hayuning Ratri Hapsari | Akramunnisa Amir
Ulasan Buku Susah Payah Mati di Malam Hari Susah Payah Hidup di Siang Hari, Tolak Romantisasi Hujan dan Senja
Susah Payah Mati di Malam Hari Susah Payah Hidup di Siang Hari (Goodreads)

Saya bingung harus menyebut buku ini jenis apa. Jika disebut puisi, rasanya larik-lariknya terlalu panjang untuk ukuran sebuah puisi. Tapi tentu saja buku ini juga bukan cerpen, karena isinya hanyalah tumpahan keresahan seorang perempuan.

Terlepas dari kebingungan menjawab hal di atas, saya sangat menikmati salah satu karya dari Lala Bohang ini. 'Susah Payah Mati di Malam Hari Susah Payah Hidup di Siang Hari' adalah ungkapan hati yang begitu jujur, tapi sekaligus sarat akan sindiran terhadap kehidupan.

Anggap saja ini adalah sebuah buku puisi, mengingat buku ini adalah bagian dari seri Selfie(sh) yang sebagian besarnya adalah puisi. Tokoh yang diceritakan dalam puisi ini adalah seorang perempuan dan berbagai macam problematika keseharian yang ia alami dalam hidup.

Perempuan ini diceritakan tengah bergelut dengan sejumlah rutinitas yang terlihat monoton. Hal itu terlihat dari bagaimana Lala Bohang menulis puisi yang sebagian besar memuat aktivitas si perempuan berdasarkan hari-hari dalam seminggu.

Misalnya sebuah puisi pada hari Selasa berikut.
"Sebelum mati perempuan selalu mencuci muka, menyikat gigi, memeras usus, mencuci telapak kaki, membilas otak, mencuci ketiak, menyikat lambung, dan mencuci pantat.
Di antara aktivitas mencuci perempuan sering tersesat dalam menyusun prioritas. Mencuci atau bernapas?"

Saya agak tergelitik dengan diksi yang digunakan oleh Lala Bohang. Tidak seperti kebanyakan puisi yang sengaja memilih kata-kata yang sulit, namun puisi-puisi dalam buku ini terlalu apa adanya, cenderung satire hingga berakhir nyelekit.

Pada hari Kamis, Lala Bohang menulis:
"Sudah lama perempuan mengerti kalau hujan tidak punya kuasa untuk menyembuhkan dan senja hanyalah rutinitas langit yang tidak berniat menghibur siapa pun."

Nah, perhatikan puisi di atas. Jika pada umumnya kita begitu sering menemukan kata 'hujan' dan 'senja' sebagai inspirasi penyair dalam menulis puisi, dalam kutipan puisi di atas Lala Bohang justru tidak berniat meromantisasi dua kata di atas sebagai hal yang melankoli.

Puisi-puisi di buku ini begitu blak-blakan dan realistis. Namun, di balik larik-larik yang kelihatannya dilontarkan dengan semaunya oleh penulis, pesan-pesan yang ada di dalamnya kadang berisi sesuatu yang multitafsir.

Sekilas terlihat seperti sedang sambat tentang kehidupan, tapi jika dibaca lebih teliti, maknanya justru lebih getir dari sekedar sebuah sambat dari seorang perempuan yang ingin menyerah dengan hidupnya.

Bagi saya secara pribadi, jenis puisi seperti ini sangat menarik karena mampu membuat pembaca fokus memikirkan makna keseluruhan puisi, alih-alih menafsirkan metafora yang terkadang hanya dibuat sebagai tempelan agar puisi terlihat indah.

Jadi, bagi para penikmat puisi, karya dari Lala Bohang yang satu ini adalah salah satu rekomendasi buku puisi yang sangat layak untuk dibaca!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak