Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | ahmaddahri
Ilustrasi menyesal (Pixabay)

1/
Ada rumah yang dibangun indah,
Lalu runtuh dah goyah, karena cerita dan ragam tangis yang dilupakan
Ada bunga yang tiba-tiba layu,
Karena angin terlalu kencang dan tanah mengering begitu saja
Ada redup yang kian menggelap,
Karena bintang dan rembulan sering tertutup awan fatamorgana. Menyusuri ruang-ruang dalam dekapan kesepian, kini cerita kian berubah, menuju masa yang dipendam sendiri dalam ceritanya.

2/
Air mengalir mengikuti tanah yang lebih rendah,
Manusia jarang memandang ke bawah,
Angin selalu melambaikan dedaunan,
Manusia sering lupa bahwa daun yang kering jatuh berserakan diterpa angin. Lalu melaju menembus ruas-ruas pikiran kelabu, aku tidak sanggup menahan cerita masa lalu, yang lapuk namun hampir tumbuh diterjang masa. Kalau bukan karena sesal ia akan berpikir sedemikian rupa, ia akan berusaha meninggalkan cerita-cerita, dan mengamini nasib yang diderita. Bukan untuk menangisinya, seharusnya. Tetapi menepi lalu memikirkannya dalam-dalam.

3/
Di tepi jalan air berkecipak,
Roda-roda mewah melintas tanpa batas,
Menunjukkan ketiadaannya bahwa apa yang ada adalah ketiadaan. Sepi menusuk sunyi, rebah menghimpit sesak, gelisah membunuh jelaga, jelaga yang rapuh dan menua di antara lubuk dan pikirannya. Di ruas jalan menatap rebah kerinduan menepi dalam semak-semak tangis. Aku menyaksikan tangisnya menyungai di antara dua matanya. Menyesali rumah yang jatuh dan lebur bersama kenangannya. 

ahmaddahri