Pulang adalah novel perdana Leila S. Chudori, wartawan senior Tempo. Sebelumnya, dalam pengantar 9 dari Nadira, Leila mengatakan kalau dia lebih nyaman menulis cerita pendek. Sebab ruang cerita pendek relatif sempit, sehingga tidak mengizinkan pengarang untuk bercas cis cus menulis ke sana kemari.
Bagi Leila, cerita pendek adalah ruangan sempit yang perlu disuguhi ledakan besar di akhir cerita.
Namun demikian, Leila tampaknya tak mau hanya berada di zona nyamannya. Dia pun bertungkus lumus menulis novel Pulang dengan bahan baku riset ke Prancis, ialah mewawancarai para eksil politik dan meriset di dalam negeri, menelaah literatur, dan tentu saja mengorek informasi dari para pelaku sejarah.
Secara ringkas, novel Pulang mengisahkan pergulatan Dimas Suryo dan kawan-kawannya yang dianggap terlibat dalam Gerakan September Tiga Puluh atau Gestapu.
Padahal Dimas sendiri adalah pribadi independen. Dia tidak menggabungkan diri dalam organisasi apapun, baik kanan maupun kiri, walau punya teman dari berbagai kalangan.
Namun keikutsertaannya dalam suatu seminar yang diselenggarakan gerakan kiri, lantaran mewakili rekannya, Hananto Prawiro, membuat Dimas terseret dalam gelombang konflik.
Paspornya dicabut. Dimas tidak bisa pulang ke Tanah Air, jobless, dan tanpa status. Dia bertansformasi jadi eksil. Dari Kuba, Dimas menggelandang ke Peking, lalu terdampar hingga Paris.
Di jantung kota mode inilah Dimas yang pandai seni olah makanan, berinisiasi mendirikan restoran khusus kuliner Nusantara, bersama kawan-kawan seperjuangan. Restoran ini dinamai Restoran Tanah Air.
Tak disangka, restoran ini booming, dapat menjaring banyak pelanggan, baik orang Indonesia asli yang menetap maupun tengah berkunjung ke Paris, juga orang-orang Eropa pada umumnya. Menu andalan restoran ini: nasi kuning, rendang, opor, dawet, dan lain-lain.
Sebagai juru masak, Dimas sangat setia dengan ritual. Dia emoh memasak menggunakan bahan-bahan instan yang serba praktis serta cepat. Dia memilih mengupas, menggiling, mengulek, memeras sendiri bahan-bahan maupun adonan juga bumbu yang dibutuhkan.
Dengan demikian, sajian kuliner Restoran Tanah Air memiliki citarasa khas, tak dimiliki tempat lain. Usaha Dimas tersebut sampai diliput berbagai media, termasuk koran Indonesia, disebut sebagai wakil budaya Nusantara di jantung kota mode dunia.
Membaca novel ini, pembaca disuguhi betapa kerumpilan hidup betapa pun beratnya, tentu dapat dilalui selagi terus-menerus mengekalkan usaha.
Baca Juga
-
Pelajaran Tekad dari Buku Cerita Anak 'Pippi Gadis Kecil dari Tepi Rel Kereta Api'
-
Cerita-Cerita yang Menghangatkan Hati dalam 'Kado untuk Ayah'
-
Suka Duka Hidup di Masa Pandemi Covid-19, Ulasan Novel 'Khofidah Bukan Covid'
-
Akulturasi Budaya Islam, Jawa, dan Hindu dalam Misteri Hilangnya Luwur Sunan
-
Pelajaran Cinta dan Iman di Negeri Tirai Bambu dalam "Lost in Ningxia"
Artikel Terkait
-
Viral, Lagi Asik Makan Nasi Padang Malah Dilempar Sampah Sama Teman, Netizen Meradang!
-
5 Dampak Negatif dari Mengonsumsi Makanan Pedas Secara Berlebihan
-
Gara-gara Ulah Adiknya, Kakak Satu Ini Syok Tiap Kali Buka Kotak Makanan Selalu Begini
-
7 Cara Mengatasi Rasa Nyeri Saat Menstruasi, Ubah Kebiasaan Makan
-
Konsumen Gugat Renault dan Nissan Akibat Masalah Mesin
Ulasan
-
Mengulik Novel Sesuk Karya Tere Liye: Misteri Rumah dan Wabah Kematian!
-
Ulasan Novel Pulang Pergi: Sisi Gelap dan Mematikan Shadow Economy!
-
Ulasan Novel SagaraS: Sosok Orang Tua Kandung Ali Terungkap!
-
Ulasan Buku Melukis Pelangi: Menghapus Kata Takut dan Menyerah dalam Hidup
-
Ulasan Novel Friends That Break Us: Ketika Persahabatan Lama Menjadi Luka
Terkini
-
Self-care di Era Kapitalisme: Healing atau Konsumerisme Terselubung?
-
Bumi Tak Perlu Berteriak: Saatnya Kita Lawan Krisis Air dari Sekarang
-
4 Daily OOTD ala Kazuha LE SSERAFIM, Anti-Ribet Tetap Fashionable!
-
Belajar dari Malaysia: Voucher Buku sebagai Investasi Masa Depan Literasi
-
Proker KKN Membuat Ganci dari Kain Perca: Edukasi Cinta Bumi Sejak Dini