Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rie Kusuma
Novel Capslok (Dok. Pribadi/Rie Kusuma)

Novel ini saya tulis berdasarkan pengalaman pribadi, ketika tuntutan hidup memaksa saya untuk segera bangkit dari situasi buruk saat itu. Saya masuk ke dunia salon yang tak pernah saya perkirakan sebelumnya. Di sana, saya menemukan banyak kejadian 'ajaib' dan tingkah polah manusia yang beragam.

Sebagian besar dari kisah-kisah dalam novel Capslok: Capster Anjlok terbitan JWriting Soul Publishing (2022) adalah berdasarkan kejadian nyata. Juga latar tempat yang digunakan, hampir semuanya mengambil latar asli yang ada di seputaran Tangerang Selatan dan sekitarnya.

Kisah berawal ketika Melodi mendadak harus jadi kapster salon. Satu-satunya pekerjaan yang bisa ia peroleh, setelah kematian ibunya karena kanker payudara, memaksanya menjadi tulang punggung bagi Simfoni, adik satu-satunya.

Di salon, Melodi harus berhadapan dengan Monci. Seorang makhluk jadi-jadian yang menerimanya bekerja, hanya karena pernah ditolong Melodi saat telepon genggamnya dijambret. Bos yang ketus, bawel, jutek, dan diam-diam cemburu pada Melodi.

Sikap Monci bukan tanpa alasan. Sebagai anak baru, Melodi kerap menimbulkan kehebohan di salon. Pernah suatu kali, Melodi memasukkan catokan panas ke air supaya lekas dingin. Ia juga pernah membuat masker dari pepaya milik Monci, karena seorang tamu salon ingin masker rambut dari bahan alami.

Belum lagi Melodi selalu berhasil membuat pelanggan salon mereka, Baron Mahardika, tertawa terpingkal-pingkal dengan humor-humor segar yang keluar dari mulut Melodi. Monci yang naksir Baron jelas jadi cemburu.

"Kenapa, Mel?" Suara lembut Baron menggetarkan hati Melodi.

"Ngg … anu, Mas. Airnya mati. Mungkin minder karena mau dipakai buat cuci rambut Mas Baron," Melodi menjawab sekenanya. (hlm 21)

Walaupun sering bersikap 'anjlok', ternyata Melodi menyimpan banyak permasalahan. Biaya pengobatan sang ibu saat sakit, sudah menghabiskan semua tabungan dan aset keluarga, termasuk tabungan untuk biaya kuliah Melodi.

Usaha katering ibunya terpaksa gulung tikar. Uang SPP Simfoni menunggak berbulan-bulan, membuat adiknya terancam dikeluarkan dari sekolah. Lalu ada Tante Pendra, yang mengincar piano milik almarhumah ibunya.

Tante Pendra yang tengah menelusuri permukaan Grand Piano Kohler & Campbell Kig-47 berwarna putih menghentikan gerakannya. Dengan anggun ia berbalik, menatap Melodi yang terang-terangan menunjukkan wajah tak suka.

"Enam puluh juta harga seken piano ini di toko online. Silakan cek. Saya bisa bayar cash," Tante Pendra berkata dengan angkuh. (hlm 68)

Novel ini tak melulu menghadirkan permasalahan Melodi. Ada pula masalah-masalah yang dihadapi Monci dan Delisa, karyawan salonnya, yang tak kalah pelik. Belum lagi tentang Tante Pendra yang misterius, dan rahasia yang belum terungkap di balik menghilangnya ayah Melodi bertahun-tahun lalu.

Dikemas dalam komedi segar berbalut kisah asmara dan tragedi keluarga serta huru-hara kehidupan salon—dibumbui dengan bahasa salon ala Monci di sana-sini—membuat novel ini hadir sebagai bacaan yang komplit, ringan, dan menghibur. Semoga ulasan pribadi ini bermanfaat.

Rie Kusuma