Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sam Edy
Buku 'Guruku Panutanku' (Dokumen pribadi/Sam Edy)

Guru adalah salah satu sosok yang selayaknya kita teladani. Guru yang saya maksudkan di sini tentu saja guru yang memiliki perilaku atau akhlak terpuji. Jadi bukan guru sembarang guru yang perilakunya jauh dari apa yang diajarkan olehnya.

Memberi nasihat memang menjadi hal niscaya bagi setiap guru agar murid-muridnya memiliki perilaku yang baik. Agar mereka tumbuh menjadi pribadi beradab, tahu sopan santun, dan bisa memuliakan orang yang lebih tua, terlebih kedua orang tua yang telah mengasuh dan mendidik mereka.

Benar apa yang diungkap penulis dalam bukuGuruku Panutanku’ bahwa memberikan nasihat kepada siswa ternyata merupakan salah satu cara efektif dalam memberikan pengaruh kepada siswa.

Lantas, yang menjadi pertanyaan: apakah memberi nasihat kepada murid sudah dianggap cukup dan selesai? Tentu saja tidak. Artinya, seorang guru ketika memberikan nasihat, juga harus disertai dengan upaya menjalankan nasihat tersebut.

Misalnya, ketika guru mengajarkan tentang sikap disiplin, maka guru tersebut juga harus memiliki kedisiplinan yang tinggi sehingga murid akan terinspirasi untuk meniru atau mencontohnya.

Selain memberi nasihat, cerita hidup guru yang mengajar menjadi salah satu cara efektif pula. Para guru menceritakan tentang pengalaman hidupnya. Bercerita adalah cara yang efektif untuk mengundang perhatian atau menyampaikan pesan kepada para siswa, bukan hanya anak-anak, tetapi juga para remaja. Nasihat dan cerita hidup menjadi satu hal yang sama, yaitu bahwa tujuan cerita para guru sesungguhnya adalah memberikan nasihat kepada siswa secara tidak langsung (hlm. 81).

Selain bertugas mentransfer beragam mata pelajaran dan memberi keteladanan yang baik, seorang guru juga perlu mengajari para peserta didiknya tentang cara bersosialisasi yang baik bersama teman-temannya. Ini sangat penting dipahami sebagai salah satu bentuk untuk mencegah hal-hal buruk seperti terjadinya perkelahian, bullying, dan sebagainya.

Sayangnya, mengajari murid agar terampil bergaul dengan baik bersama teman-temannya kurang menjadi perhatian sebagian sekolah.

Dalam buku ini diungkap, sering kali sekolah tidak serius mengelola hubungan sosial siswa di sekolah. Bagian ini sering kali terlewatkan, padahal hubungan sosial antar-remaja menjadi salah satu penentu pembentukan nilai dan karakter para siswa.

Alih-alih pengelolaan terhadap hubungan sosial remaja kita, bukti yang paling mudah ditemukan adalah alpanya sekolah mengurusi hubungan sosial para siswa. Akibat dari tidak dipedulikannya hubungan sosial ini muncullah perkelahian, bullying, atau kekerasan verbal. Semua itu menjadi indikatornya (hlm. 115).

Buku ‘Guruku Panutanku’ karya Sigit Setyawan yang diterbitkan oleh penerbit Kanisius (Yogyakarta) ini layak dijadikan bacaan oleh para guru sebagai salah satu panduan mendidik anak di sekolah. Semoga ulasan ini bermanfaat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sam Edy