Hujan turun pelan di luar warung kecil itu.
Uap panas dari mangkuk merah di depan Rafiq mengepul, membawa aroma pedas kerupuk basah dan kencur, bau yang selalu mengingatkannya pada masa SMA, saat hidup belum seberat sekarang.
"Seblak lagi, Fiq? Cowok kok doyan beginian?" Ceu Eni terkekeh, setengah bercanda.
Rafiq mengangkat bahu, tersenyum tipis.
"Seblak mah bukan soal gender, Ceu. Ini soal bertahan hidup."
Tak banyak yang mengerti Rafiq.
Ia bukan laki-laki seperti yang diharapkan dunia.
Ia tak bisa naik motor. Di usia 22 tahun, ia masih berjalan kaki atau bergantung pada ojek online.
Tubuhnya gendut. Kata orang, tak enak dipandang. Ia menyukai K-Pop, menangis saat menonton drama, dan bersuara lembut. Terlalu lembut, kata mereka.
Teman menjauh.
Gebetan perlahan menghilang.
Dunia seperti menarik tangannya setiap kali ia mencoba mendekat.
Di malam-malam sepi, Rafiq sering bertanya, "Apa salahku jadi seperti ini?"
Tak pernah ada jawaban.
Sampai ia menemukan satu hal kecil yang selalu menunggunya tanpa syarat: seblak.
Sederhana. Pedas. Hangat.
Tak menghakimi. Tak menuntut.
Hanya hadir—dan itu cukup.
Ia ingat betul malam ketika hidup terasa tak lagi punya pintu keluar. Tubuhnya terbaring, dada sesak, air mata habis. Pikiran gelap menumpuk tanpa jeda.
Lalu, sebuah pikiran konyol menyelip di kepalanya: "Kalau aku mati… aku nggak bisa makan seblak lagi dong."
Konyol.
Sepele.
Tapi justru itu yang menahannya tetap bernapas.
Sejak malam itu, Rafiq berhenti mengejar penerimaan. Ia mulai menulis.
Menumpahkan isi kepalanya di blog—tentang menjadi laki-laki melankolis di dunia yang keras, tentang kesepian, tentang seblak yang terasa lebih memeluk daripada manusia.
Tulisan-tulisan itu menyebar. Viral.
Rafiq yang dulu ditolak jadi reporter karena tubuhnya tak “cocok kamera”, kini menulis buku-buku best seller. Ia tak muncul di layar, tapi kata-katanya berjalan jauh, menyentuh orang-orang yang tak pernah ia temui.
Suatu sore, di warung seblak langganannya, seseorang duduk di sebelahnya.
"Mas Rafiq?" suaranya bergetar.
"Aku baca semua tulisanmu. Aku… dulu juga mau menyerah. Tapi tulisanmu nyelamatin aku."
Rafiq menoleh.
Matanya basah. Tangannya gemetar.
Kadang, kita memang tak butuh pelukan dari banyak orang.
Kadang, cukup satu mangkuk seblak.
Satu rasa hangat.
Satu alasan absurd untuk tetap hidup.
Dan dari situlah, hidup pelan-pelan dimulai lagi.
Tuhan memang lucu.
Kadang Ia tak menjawab lewat cahaya, tapi lewat rasa pedas di lidah dan harapan kecil yang menolak mati di hati.