Maria Ullfah: Sarjana Hukum Perempuan Pertama Indonesia

Munirah | Mohammad Azharudin
Maria Ullfah: Sarjana Hukum Perempuan Pertama Indonesia
Maria Ullfah. (goodnewsfromindonesia.id)

Seperti diketahui, dari seluruh anggota BPUPKI alias Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang berjumlah 62 orang, hanya ada 2 perempuan di dalamnya. Dua perempuan tersebut adalah Siti Sukaptinah dan Maria Ullfah.

Ketika pelaksanaan sidang, seluruh anggota BPUPKI dibagai dalam 3 panitia dengan pembahasan masing-masing. Panitia Pertama mengulas tentang UUD dan Perumusan Undang-Undang. Panitia Kedua bertugas mengkaji urusan ekonomi dan keuangan.

Panitia Ketiga mendalami perihal pembinaan tanah air. Maria Ullfah sendiri masuk dalam Panitia Pertama, sementara Siti Sukaptinah bergabung di Panitia Ketiga. Sesuai dengan judul di atas, artikel ini akan berfokus mengulas tokoh Maria Ullfah.

Dilahirkan di Serang, Banten pada 18 Agustus 1911, Maria Ullfah merupakan putri dari dari pasangan Raden Mohammad Achmad dan Raden Ayu Hadidjah Djajadiningrat. Ayahnya pernah bertugas sebagai amtenar di Serang, lalu menjabat sebagai bupati Meester (kini Jatinegara), hingga akhirnya menjadi bupati Kuningan.

Sementara itu, ibunya adalah anak ke-5 dari Raden Bagoes Djajawinata (seorang wedana Kramatwatu dan bupati Serang). Meliat latar belakang orang tuanya tersebut, Maria Ullfah tentunya mendapat privilege tersendirikhususnya dalam hal pendidikan. Maria Ullfah mengawali pendidikannya di sekolah dasar yang ada di Rangkasbitung (Banten). Tak berselang lama, ayahnya memboyong seluruh keluarganya ke Batavia.

Tahun 1929, Mohammad Achmad (ayah Maria Ullfah) mendapat kesempatan untuk belajar seputar perkoperasian di Denhaag, Belanda. Ketiga anaknya ia ajak, termasuk Maria Ullfah. Kebetulan saat itu Maria Ullfah tengah harus melanjutkan pendidikannya. Ia lantas meminta izin kepada ayahnya untuk mendaftar ke Fakultas Hukum di Universiteit Leiden.

Hal tersebut pada akhirnya mengantarkan Maria Ullfah menjadi sarjana hukum perempuan pertama Indonesia. Tahun 1931, ketika Maria Ullfah pulang dari Belanda, ia bertekad untuk mematuhi dan mengimplementasikan Sumpah Pemuda. Cara yang ia tempuh adalah berusaha menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

Kala itu, bahasa Indonesia memang belum lumrah dituturkan. Mayoritas orang bercakap-cakap menggunakan bahasa daerah atau bahasa Belanda. Kesulitan berbahasa Indonesia juga dialami oleh Kajatoen Wasito, seorang tokoh pendidik perempuan yang tergabung dalam Jong Java.

Didorong oleh keinginan rasa bersatu yang kuat menggunakan bahasa Indonesia, Maria Ullfah bersama temannya yang bernama Soegiarti berupaya untuk mencuri seseorang yang mampu mengajari mereka bahasa Indonesia. Mereka berdua lantas dipertemukan dengan seorang pujangga yang bernama Amir Hamzah, dan ia bersedia menjadi guru les bahasa Indonesia.

Amir Hamzah ternyata mengajarkan bahasa Indonesia dengan kosakata yang terlampau sastrawi dan begitu mendayu-dayu. Maria Ullfah dan Soegiarti merasa sangat tidak cocok dengan hal tersebut. Maria Ullfah kemudian berkata dengan lugas pada Amir Hamzah bahwa yang ia cari bukan bahasa Indonesia yang seperti itu, melainkan bahasa Indonesia yang dipakai untuk bercakap-cakap dan berpidato.

Selepas itu, Maria Ullfah meminta Soetopo (rekan dari Perguruan Muhammadiyah) untuk mengajarinya bahasa Indonesia. Sepulang dari Belanda Maria Ullfah memang langsung berkecimpung dalam ranah pendidikan dengan menjadi pengajar di Perguruan Rakyat dan di Perguruan Muhammadiyah. Mata pelajaran yang ia ampu adalah sejarah, tatanegara, dan bahasa Jerman.

Maria Ullfah juga aktif menuangkan gagasan-gagasannya dalam tulisan. Karya tulisnya tersebut banyak dipublikasikan di majalah bulanan milik organisasi Isteri Indonesia. Isu-isu yang sering disorot oleh Maria Ullfah di antaranya keadaan umum perempuan di Indonesia, pernikahan paksa, buruh perempuan, dan perwakilan perempuan di dalam parlemen di Hindia Belanda.

Maria Ullfah lantang bersuara dan mengajak gerakan perempuan untuk memikirkan formulasi peraturan guna melindungi perempuan dari penyalahgunaan hukum agama demi kepentingan sepihak kaum lelaki, khususnya yang menyangkut poligami.

Dalam rapat Panitia Pertamabagian dari BPUPKI seperti yang telah disebutkan di awal tulisan iniyang membahas UUD, Maria Ullfah mengajukan usul supaya ada pemberian hak dasar yang sama bagi warga negara, baik lelaki maupun perempuan.

Soekarno mulanya menolak ide tersebut karena dirasa sudah ada. Namun, setelah Maria Ullfah memaparkan maksud yang sebenarnya dari usulannya tadi, Prof. Dr. Soepomosebagai ketua Panitia Pertamamemberikan dukunganya. Akhirnya, usulan Maria Ullfah tersebut diterima dan dicantumkan dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Sebagai orang yang tak lelah-lelahnya menyuarakan hak perempuan, Maria Ullfah pernah menulis tentang sembilan butir taklik talak menurut versinya. Fyi, taklik talak adalah, “Perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang.” Definisi tersebut tercantum dalam ketentuan pasal 1 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sembilan butir taklik talak menurut Maria Ullfah yakni.

1.      Meninggalkan isteri saya enam bukan berturut-turut

2.      Atau saya tidak memberi nafkah kepadanya tiga bulan lamanya

3.      Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya

4.      Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya

5.      Atau saya berzinah

6.      Atau jika saya menjadi pemabuk, pemadat, penjudi

7.      Atau saya dihukum karena kejahatan dengan hukuman dua tahun atau lebih

8.      Atau jika saya beristeri (mengambil isteri) lagi

9.      Atau jika ada perselisihan yang tidak dapat didamaikan lagi (onheelbare tweespalt).

Pada masa kemerdekaan, Maria Ullfah ditunjuk oleh Sjahrir untuk menjadi menteri sosial. Sjahrir mengungkapkan bahwa penunjukan tersebut merupakan wujud sikap antifasis dan memegang prinsip demokrasi. Bahkan, penunjukan seorang perempuan sebagai menteri ini belum lazim di Eropa pada waktu itu.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak