Kekerasan seksual yang secara terus menerus lamban ditangani bahkan dibiarkan begitu saja sudah menjadi penyakit lama yang tak kunjung disembuhkan negara. Terkuaknya berbagai kasus kekerasan seksual membongkar kenyataan pahit bahwa penegak hukum, intelektual, pemuka agama, dan sosok-sosok yang idealnya berada di garda terdepan pencegahan kekerasan seksual, juga berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual itu sendiri. Sementara para penyintas menanggung luka lahir dan batin, para pelaku–dengan gagahnya, masih sanggup membela diri.
Beberapa waktu lalu, dunia maya dibuat gempar dengan kekerasan seksual yang dialami seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selama bertahun-tahun. Terduga pelaku adalah rekan kerjanya yang berjumlah 7 orang. Aduan yang ia lakukan berkali-kali selama kurun waktu 2017 hingga 2020 tak memberinya bantuan apapun. Kasusnya baru mendapat perhatian serius ketika viral di media sosial pada 2021.
Tahun 2020, seorang perempuan berusia 13 tahun diperkosa di rumah aman Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur. Pemerkosanya adalah Dian Ansori, seorang anggota divisi Pelayanan Medis dan Hukum. Perempuan 13 tahun tersebut dikirim ke rumah aman oleh ayahnya karena menjadi korban pemerkosaan dan mencari perlindungan. Ironis.
Reportase berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” dari Project Multatuli menguak seorang ASN yang memperkosa 3 anaknya sendiri. Laporan ibu korban kepada polisi membuahkan hasil tak mengenakkan. Dua bulan kemudian, laporannya dihentikan. Pelaku mendapat perlindungan dari sesama rekan ASN, ibu korban alias sang pelapor justru dicap “gila.”
Teranyar, Novia Widyasari Rahayu, seorang mahasiswi Universitas Brawijaya ditemukan meninggal bunuh diri di atas makam ayahnya setelah diperkosa oleh pacarnya hingga hamil. Tak sampai di situ, pelaku memaksa korban untuk melakukan aborsi sebanyak dua kali. Pelaku adalah Randy Bagus, seorang anggota polisi. Sikap arogan pelaku yang mangkir dari tanggung jawab didukung oleh keluarganya dengan berbagai alasan. Teror pun sempat berdatangan ke rumah Novia setelah ia menuntut pertanggungjawaban.
Terbongkarnya kasus-kasus kekerasan seksual yang marak belakangan seharusnya mengajarkan kita setidaknya 3 hal. Pertama, perhatian kita atas isu ini sangatlah berarti dalam upaya penanganannya. Artikel Novan Harya dalam Kognisia menyatakan bahwa berkembangnya kesadaran publik atas isu kekerasan seksual dapat menjadi sinyal bagus dalam menciptakan lingkungan yang aman dan ramah gender.
Kita harus cukup berani untuk menyadari bahwa tiga contoh di atas merupakan beberapa kasus yang cukup “beruntung” karena berhasil mendapat perhatian besar publik. Akan tetapi, dibalik itu semua, kita tidak tahu ada berapa banyak kasus yang tak pernah muncul ke permukaan dan mendapat atensi sebesar ini. Pahit memang, tapi beginilah adanya.
Kedua, kebiasaan “menunggu” sebuah kasus untuk viral sebelum ditangani secara serius harus segera dihentikan. Belum lagi syarat bukti-bukti legal formal konyol yang diminta terhadap korban justru cenderung melindungi pelaku, karena kerap membuat penanganan kasus terulur lama tanpa pendampingan serius.
Semua elemen harus proaktif dan bergerak lebih gesit terkait kekerasan seksual. Jangan beri ruang bagi pihak-pihak yang dengan sengaja menghalangi dipenuhinya hak-hak korban kekerasan seksual di mana pun. Tak ada nama baik apa pun yang pantas dipertahankan bila ongkosnya adalah digugurkannya masa depan, kehormatan, dan kesehatan mental seorang korban kekerasan seksual.
Terakhir, setiap orang tak lepas dari kemungkinan menjadi korban ataupun pelaku. Apa pun latar belakang korban, mereka layak mendapatkan keadilan. Pun, semulia apa pun jabatan dan posisi seseorang, tidak serta merta mencegahnya menjadi seorang pelaku kekerasan seksual. Mereka tetap harus mendapat konsekuensi setimpal atas apa yang telah mereka perbuat terhadap korban.
Kami bersama korban!