Setiap orang tentu membutuhkan uang. Karena dengan uang, segala keinginan yang bersifat duniawi dapat segera terpenuhi. Maka tak heran bila setiap orang terlihat sibuk berlomba-lomba mencari uang demi memenuhi segala ambisi hidupnya. Mencari uang memang lumrah bahkan menjadi suatu kewajiban ketika seseorang memiliki tanggungan dalam hidupnya, misalnya untuk menafkahi istri dan anak-anaknya, dan seterusnya. Yang tidak lumrah adalah ketika kita sampai lupa diri dalam mencari uang dan melupakan kewajiban kita sebagai hamba Tuhan. Belum lagi bila kita menggunakan cara-cara terlarang dalam mencari uang. Misalnya dengan cara merampok, korupsi, menipu, menjilat, dan lain sebagainya.
Begitu juga dianggap tidak lumrah, bahkan sangat berbahaya, bila kita terlalu mengagung-agungkan uang sampai-sampai menjadikannya “berhala”. Ya, uang ibarat “berhala” yang disembah-puja oleh sebagian orang hingga lupa bahwa uang hanyalah sebagai perantara atau alat bagi kita untuk beribadah dan mencari keridaan Tuhan. Orang yang menjadikan uang sebagai berhala biasanya akan berusaha mengeruk uang sebanyak-banyaknya, tapi bukan digunakan untuk memperbanyak amalan kebajikan, melainkan untuk memenuhi ambisi pribadi, keluarga, dan golongannya.
Uang, selain kerap diberhalakan oleh manusia, juga menjadi pemicu hilangnya akal sehat. Para politisi misalnya. Sebagian mereka kadang hilang akal sehatnya ketika dihadapkan pada kekuasaan dan tumpukan uang. Ketika mereka saling berebut kekuasaan, maka akal sehat mereka pun hilang entah ke mana. Rekan sahabat yang semula sangat akrab bisa tiba-tiba berubah menjadi musuh bebuyutan yang harus segera disingkirkan.
Benar kiranya apa yang ditulis Nurudin dalam buku "Agama Saya Adalah Uang" ini, bahwa ternyata jika sudah berurusan dengan kekuasaan, politisi itu sudah tidak “berakal sehat”. Mereka pernah disatukan dalam sebuah kepentingan. Jika sudah hilang musuh bersama yang menyatukan kepentingan itu, yang kemudian muncul adalah rebutan pengaruh dan kekuasaan. Mengapa mereka berebut kekuasaan? Karena kekuasaan menjanjikan banyak hal. Bisa menghilangkan “kejahatan” seseorang. Bisa membuat kaya, bisa ikut menentukan kebijakan negara. Bisa terkenal. Dan yang pasti punya efek nyata dalam soal pendanaan.
Artinya, mereka yang memiliki kekuasaan akan punya banyak uang. Bukan dari gajinya tetapi dari imbas kekuasaan yang dimilikinya. Benar kata Voltaire, “Dalam perkara uang, setiap orang punya agama yang sama”. Maka dalam perkara politik, setiap orang punya “agama” yang sama pula (halaman 92).
Orang yang memberhalakan uang biasanya dia akan melakukan berbagai upaya untuk mendapatkannya. Tak peduli apakah upaya tersebut sesuai norma atau diharamkan dalam agama. Korupsi dan menjilat atasan agar jabatannya dinaikkan menjadi hal yang dianggap biasa oleh mereka yang tergila-gila pada uang, jabatan, dan kemewahan. Memuji-muji atasan tapi menjelek-jelekkannya saat di belakangnya merupakan ciri-ciri kaum penjilat yang perlu diwaspadai.
Nurudin, dalam buku ini, mengingatkan para pembaca agar berhati-hati dalam bergaul dengan sesama. Menurut Nurudin, jika Anda mendapatkan teman yang suka bicara kejelekan atau suka menggunjing orang lain saatnya perlu hati-hati. Mungkin Anda terhibur dan tertawa. Tetapi Anda perlu yakin, teman itu akan membicarakan kejelekan dan menggunjing Anda dengan orang lain pula.
Saya jadi teringat, ketika jadwal giliran ronda di lingkungan tempat tinggal saya tiba, biasanya saya berkumpul dengan orang-orang yang gemar sekali menggunjing tetangganya. Misalnya, ketika si A tidak berangkat ronda, maka dia akan menjadi bahan gunjingan. Lalu ketika si B memilih pulang dulu padahal jam ronda belum selesai, dia yang mendapat giliran digunjingkan. Demikian seterusnya. Saya berusaha mengamati sekaligus belajar dari hal tersebut. Misalnya, saya akan berusaha memilih diam ketika orang-orang sedang menggunjingkan si A, si B, atau si C. Saya berusaha tak terlibat karena setiap orang pasti memiliki aib yang tak pantas diumbar. Karenanya, tak perlu kita sibuk membicarakan aib orang lain, apalagi sampai membumbuinya dengan candaan serta prasangka sehingga bisa menjadi penyebab fitnah. Saya lantas berpikir, jangan-jangan ketika saya sedang berhalangan (tak berangkat ronda) orang-orang juga menggunjingkan saya?
Sangat menarik membaca buku kumpulan esai yang ditulis oleh penulis yang selama ini dikenal sangat produktif menerbitkan buku dan menulis ratusan artikel di berbagai media massa ini. Tentu saja tema-tema esai yang diangkat oleh penulis dalam buku terbitan Intrans Publishing ini tak melulu bicara tentang uang dan kekuasaan, tetapi juga membahas tentang hal-hal lain yang biasa terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Misalnya perihal kebiasaan kita membunyikan klakson saat berkendara. Terlebih di jalan yang sedang dalam kondisi macet. Suara klakson terdengar begitu riuh, memekakkan telinga, dan tentu saja mengganggu pendengaran setiap orang yang berada di sana. Suara-suara pekak itu menurut saya termasuk “polusi suara” yang mestinya dapat kita hindari.
Jamak diketahui, secara umum keberadaan jalan raya di negeri ini memang terkenal tak ramah bagi para pejalan kaki. Fakta membuktikan, masyarakat kita akan terlihat kesulitan saat hendak menyeberang di jalan umum. Saya terbiasa mengalami hal ini. Misalnya ketika suatu hari saya pergi ke kota Semarang. Saat hendak menyeberang di jalan kawasan Simpang Lima, saya dibuat sangat kerepotan. Saya merasa kendaraan-kendaraan yang melaju cepat itu memang merasa enggan untuk memberi jeda waktu buat para penyeberang jalan. Tak hanya di Semarang sebenarnya, di kota-kota lain pun saya merasakan hal serupa saat hendak menyeberang; kerepotan sekaligus cemas diserempet oleh para pengendara yang ugal-ugalan mengemudikan kendaraannya.
Hal tersebut tentu sangat berbeda jauh dengan kondisi jalan raya di luar negeri yang begitu menghormati para penyeberang jalan, Brunei Darussalam misalnya. Sebagaimana pengalaman menakjubkan yang pernah dialami oleh Nurudin dan dikisahkan dalam buku ini. Saat Nurudin berada di pinggir jalan dan bersiap menyeberang dari Mall Gadong menuju ke seberang, dia merasa agak heran karena banyak mobil berhenti. Setelah dia tanyakan kejadian yang mungkin menurutnya dianggap aneh tersebut, saudara temannya yang sudah 20-an tahun hidup di Brunei mengatakan bahwa begitulah “sopan santun” pengendara di Brunei. Jadi, mobil tersebut dalam jarak yang jauh sudah berhenti untuk memberi kesempatan pada penyeberang jalan. Yang menakjubkan, saat Nurudin memberi kesempatan mobil berjalan dahulu, mobil tetap berhenti dan memberikan kesempatan pejalan kaki menyeberang terlebih dahulu (halaman 13).
Secara umum, buku ini terbagi menjadi empat bagian dengan tema yang sangat beragam. Bagian pertama tentang “pluralitas masyarakat dan peluang integrasi”. Bagian kedua, tentang “pemerintah kuat negara lemah”. Bagian ketiga, mengambil tema “bersatu karena kepentingan pragmatis”, dan bagian keempat atau terakhir mengurai tentang “pemerintah dan kecurigaan pada gerakan masyarakat”.
Terbitnya buku ini layak diapresiasi dan dapat dijadikan sebagai bahan renungan bagi para pembaca, khususnya para pejabat atau pemangku kebijakan di negeri tercinta kita ini.
Sam Edy Yuswanto
Penulis lepas mukim di Kebumen