Tendangan dan pukulan tidak hanya dapat dilihat dalam suatu pertarungan. Cobalah ikuti diklatsar (pendidikan dan latihan dasar) organisasi pencinta alam, bukan tidak mungkin kalian akan menonton dua hal itu, atau bahkan kalian juga mengalaminya. Tindak kekerasan dalam diklatsar mapala sudah bukan suatu hal yang aneh. Sudah berapa sering kita mendengar kasus kematian mahasiswa karena ketika menjalani diklatsar mapala.
Terbaru, MR (17) meninggal dunia ketika sedang menjalani diklatsar organisasi pencinta alam di Sulawesi Selatan. Berdasarkan penyelidikan polisi, terdapat bekas tindak kekerasan pada tubuh MF yang mana menjadi penyebab hilangnya nyawa korban. Tidak hanya menimpa MF, peserta lainnya pun yang berjumlah 13 orang mengalami tindak kekerasan yang menyebabkan luka lebam hingga berdarah.
BACA JUGA: Tradisi Pantang Tanah Masyarakat Minang yang Belum Banyak Diketahui Orang
Selain tindak kekerasan, diklatsar organisasi pencinta alam kerap identik dengan tindak perpeloncoan atau bullying. Peserta diklatsar kerap diperintah secara paksa untuk melakukan tindakan-tindakan aneh yang tujuannya untuk mempermalukan. Tidak sampai di situ, beberapa bullying pun terkadang dapat membahayakan peserta.
Bukan sekali atau dua kali kita mendengar kabar adanya tindak kekerasan atau bullyting pada pelaksanaan diklatsar organisasi pencinta alam. Setiap hal ini terjadi, para panitia yang bertanggung jawab pun selalu menangkisnya dengan jawaban yang serupa. Lagi-lagi ditangkis dengan alasan 'pendidikan' ataupun berdalih dengan anggapan kerasnya hidup di alam.
Berbagai tindakan tercela dalam diklatsar mapala sudah menjadi turun-temurun dari para seniornya yang dianggap agung oleh anggotanya. Padahal pada sejarahnya, istilah organisasi pencinta alam ini dipopulerkan oleh Soe Hoek Gie pada tahun 1964 yang mana ditujukan untuk mewadahi mahasiswa yang jenuh dengan peliknya intrik politik.
Sebagai wadah, sudah seharusnya organisasi pencinta alam menjadi tempat bagi mahasiswa ataupun siapapun yang ingin mengalihkan kejenuhan dengan beraktivitas di alam. Bukan untuk menerima tindak kekerasan ataupun dipermalukan.
Alasan 'pendidikan' rasanya sudah tidak bisa diterima. Alasan tersebut hanya mencederai esensi dari pendidikan. Jika ditarik kembali, apa sebenarnya esensi dari pendidikan? Pendidikan memiliki tujuan untuk memberikan pelajaran ataupun pelatihan berupa ilmu, sikap, ataupun tingkah laku. Sebagaimana disebut organisasi pencinta alam, tidakkah lebih mulia apabila para peserta diklatsar diberikan pelajaran dan pelatihan untuk lebih cinta atau minimal peduli dengan alam.
Padahal sangat banyak orang yang mulai peduli dengan alam. Sudah seharusnya organisasi pencinta alam menjadi jembatan atau wadah untuk memberikan manfaat pada kelestarian alam. Kekejian diklatsar hanya mengurungkan minat masyarakat untuk lebih cinta terhadap alam.
Seseorang yang ingin menjadi anggota organisasi pencinta alam pasti mengharapkan adanya wadah untuk mengembangkan minatnya dalam beraktivitas di alam. Diklatsar seharusnya menjadi wadah untuk membekali diri, bukan sebagai ajang pamer tindak kekerasan dan membalas dendam.
Sebelum menobatkan diri sebagai pencinta alam, alangkah lebih baiknya cinta dahulu terhadap sesama manusia. Sudah cukup banyak korban dari kejinya diklatsar organisasi pencinta alam. Kata 'cinta' dalam organisasi tersebut baiknya dicabut saja, cinta terhadap sesama manusia pun tidak, apalagi terhadap alam.