Gelombang protes terhadap gelar doktor yang diberikan Universitas Indonesia kepada Bahlil Lahadalia, Ketua Umum Partai Golkar, terus bergulir. Ribuan orang telah menandatangani petisi menolak komersialisasi gelar doktor UI.
Dewan Guru Besar UI berencana untuk memeriksa adanya pelanggaran dalam kelulusan Bahlil dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG). Hingga Sabtu (19/10/2024) pukul 07.50, petisi "Tolak Komersialisasi Gelar Doktor, Pertahankan Integritas Akademik" telah ditandatangani oleh 5.127 orang di Change.org.
Petisi ini dibuat oleh alumni Universitas Indonesia yang merasa khawatir dan menolak dugaan praktik komersialisasi dalam proses penyelesaian studi doktoral Bahlil.
Mereka menilai bahwa kemudahan dan kecepatan yang berlebihan dalam meraih gelar doktor, tanpa penelitian mendalam dan memenuhi standar akademik, telah merusak prestise dan kredibilitas gelar tersebut.
Pembuat petisi mengajukan empat tuntutan: pembentukan tim independen, pencabutan gelar doktor, peningkatan pengawasan terhadap studi doktoral, dan publikasi persyaratan serta prosedur penyelesaian studi doktoral Bahlil oleh rektorat.
Mencuatnya atensi publik, Universitas Indonesia telah membentuk tim investigasi khusus untuk menyelidiki dugaan komersialisasi studi doktoral Bahlil Lahadalia di SKSG.
Pembentukan tim ini diumumkan oleh Ketua Dewan Guru Besar UI, Harkristuti Harkrisnowo, pada Jumat (18/10/2024). Tim ini akan terdiri dari tujuh hingga sembilan anggota, termasuk anggota Senat Akademik dan Dewan Guru Besar, dan diharapkan investigasi selesai pada 30 Oktober.
Menanggapi isu yang tengah mengemuka, kritik terhadap gelar akademik pejabat publik bukanlah hal baru di Indonesia. Banyak pejabat tinggi, terutama yang memegang posisi strategis, mengejar gelar akademik sebagai bagian dari karier mereka.
Beberapa pihak berpendapat bahwa gelar doktoral berfungsi untuk meningkatkan legitimasi dan kredibilitas di mata publik. Namun, seringkali, kualitas kerja pejabat tersebut tidak selalu sejalan dengan pencapaian akademis mereka.
Kritik terhadap Bahlil mencerminkan kekhawatiran yang lebih besar mengenai integritas akademik di Indonesia. Jika publik meragukan kejujuran dalam pendidikan pejabat publik, hal ini dapat merugikan kredibilitas dunia akademik secara keseluruhan.
Ini bukan hanya tentang satu kasus, melainkan tentang bagaimana sistem pendidikan tinggi di Indonesia menjaga integritas dan keadilan bagi semua mahasiswa, tanpa memandang status atau jabatan.
Merujuk pada tulisan yang dimuat oleh IndoProgress, “Obral” Gelar Akademik, fenomena "obral" gelar akademik di perguruan tinggi telah menjadi perdebatan hangat di kalangan akademisi, terutama setelah Majalah Tempo merilis laporan investigasi mengenai skandal guru besar pada 7 Juli.
Laporan tersebut mengungkap praktik tidak etis yang melibatkan berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar institusi pendidikan. Gelar akademik seharusnya dihormati sebagai cerminan komitmen terhadap prestasi dan integritas.
Fenomena ini menunjukkan adanya celah dalam sistem pendidikan tinggi, prosedur yang seharusnya ketat dan transparan disalahgunakan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Hal ini merusak reputasi institusi dan merugikan mahasiswa serta alumni yang berjuang keras untuk meraih gelar secara sah, sekaligus menciptakan ketidakadilan bagi mereka yang benar-benar layak.
Polemik ini seharusnya tidak hanya dilihat sebagai serangan terhadap satu individu, tetapi juga sebagai momen refleksi bagi dunia akademik di Indonesia.
Apakah sistem pendidikan kita sudah adil, transparan, dan akuntabel? Apakah proses akademik di perguruan tinggi menegakkan prinsip kejujuran dan integritas, atau ada celah yang memungkinkan penyalahgunaan oleh mereka yang berkuasa?
Dalam dunia akademik ideal, semua mahasiswa, baik pejabat tinggi maupun masyarakat biasa, harus diperlakukan sama. Jika ada indikasi perlakuan istimewa bagi pejabat publik, hal ini tentu akan merusak kepercayaan terhadap institusi pendidikan tinggi.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS