Adultifikasi di Medsos Bikin Anak Kehilangan Masa Kanak-Kanak

Hikmawan Firdaus | Thedora Telaubun
Adultifikasi di Medsos Bikin Anak Kehilangan Masa Kanak-Kanak
Ilustrasi anak-anak yang sedang bermain (Pexels/ Yan Krukau)

Banyak beredar video atau konten di media sosial belakangan ini yang memperlihatkan bagaimana anak-anak diperlakukan dan tampil layaknya orang dewasa. 

Anak-anak yang seharusnya sedang bermain atau bereksplorasi justru terlihat berdandan lebih matang, berpose dengan gaya “dewasa”, bahkan komentar warganet sering menilai mereka “sudah besar” atau “tahu banyak”. 

Fenomena ini disebut sebagai adultifikasi, di mana anak-anak diperlakukan lebih dewasa dari usia atau tahap perkembangan mereka. 

Adultifikasi bukan sekadar istilah populer. Menurut laporan “Girlhood Interrupted: The Erasure of Black Girls’ Childhood” oleh Rebecca Epstein, dkk (2020) menunjukkan bahwa orang dewasa cenderung menilai anak perempuan kulit hitam lebih dewasa, lebih mandiri, atau lebih tahu dibanding anak seusia mereka. 

Meskipun penelitian ini banyak membahas konteks ras di Amerika Serikat, konsep adultifikasi relevan secara global, baik anak laki-laki atau anak perempuan dari ras apa pun, terutama dalam lingkungan media sosial di mana anak-anak sering dituntut untuk tampil “matang” demi viralitas. 

Fenomena ini menjadi sorotan karena dapat mengubah cara anak-anak mengalami masa kecilnya. 

Banyak video viral yang beredar menampilkan bagaimana anak-anak dalam pose atau gaya dewasa, paling sering adalah ketika outfit mereka terlalu dewasa. 

Postingan lainnya juga ketika orang tua mendandani anak mereka seperti cerminan diri mereka dengan membuat caption seperti “mini me”.

Semakin sering anak-anak dituntut untuk tampil demikian, semakin mudah muncul tekanan psikologis yang membuat mereka merasa harus tampil sesuai standar orang dewasa. 

Tekanan yang dialami berpotensi mengurangi waktu anak untuk bermain, bersosialisasi secara santai, atau mengeksplorasi diri tanpa takut dinilai. 

Media sosial memainkan peran penting dalam sebuah tren. Filter, caption, dan komentar sering mendorong anak-anak menampilkan lebih dewasa dari pada yang sebenarnya.

Sementara itu, video yang viral berpotensi membangun persepsi bahwa menjadi dewasa lebih lebih dihargai dibanding menjadi anak-anak. 

Fenomena adultifikasi menjadi peringatan bagi masyarakat luas, termasuk orang tua, guru, pembuat konten, dan generasi muda pengguna media sosial. 

Kesadaran terhadap dampak psikologis dan sosial dari adultifikasi bisa mendorong perubahan perilaku, memberikan anak ruang untuk bereksplorasi, menikmati masa kecil, dan tumbuh sesuai alur alami mereka. 

Masa kanak-kanak adalah fase penting untuk pembentukan kreativitas, rasa ingin tahu, dan kemampuan sosial. 

Jika fase ini terganggu karena tekanan tampil “dewasa”, pengalaman tumbuh kembang anak bisa kehilangan warna dan keunikan yang seharusnya mereka alami. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak