Natal Tanpa Beban: Apakah Tradisi Konsumerisme Kita Sudah Berubah Menjadi Kewajiban Finansial?

Hayuning Ratri Hapsari | Thedora Telaubun
Natal Tanpa Beban: Apakah Tradisi Konsumerisme Kita Sudah Berubah Menjadi Kewajiban Finansial?
Ilustrasi konsumerisme (Freepik)

Menjelang Natal, pola yang sama hampir selalu terulang. Pusat perbelanjaan mulai ramai, notifikasi promo bermunculan, dan rencana makan bersama jadi topik sehari-hari. 

Tidak terasa berlebihan, bahkan terasa wajar. 

Natal memang identik dengan berbagi dan berkumpul. Tapi di balik itu, ada kebiasaan lain yang ikut dinormalisasi, yakni belanja lebih banyak dari biasanya.

Bagi banyak orang, Natal bukan lagi sekadar soal hadir dan berkumpul, tapi juga soal apa yang dibawa dan ditampilkan. 

Kado menjadi bagian penting, bukan hanya sebagai bentuk perhatian, tetapi juga penanda niat. 

Ada perasaan kurang enak kalau datang tanpa bingkisan, meski sederhana. 

Standar ini terbentuk pelan-pelan, tanpa paksaan, tapi terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Fenomena ini pernah dibahas oleh pemikir sosial Jean Baudrillard. 

Ia melihat bahwa dalam masyarakat modern, orang sering mengonsumsi bukan karena kebutuhan, melainkan karena makna simbolik. 

Barang yang dibeli membawa pesan tertentu tentang kepedulian, status, atau citra diri. 

Konsumsi tidak lagi semata soal fungsi, tetapi tentang bagaimana seseorang ingin dilihat oleh orang lain.

Dalam konteks Natal, pemikiran ini terasa relevan. 

Kado, dekorasi, hingga perayaan tertentu sering kali menjadi simbol bahwa Natal dirayakan “dengan layak”. 

Tanpa sadar, muncul ukuran tidak tertulis tentang bagaimana Natal seharusnya dijalani. 

Bukan berarti semua orang ingin berlebihan, tapi ada dorongan sosial untuk tidak terlihat kurang atau berbeda.

Masalahnya, normalisasi konsumerisme ini tidak selalu berjalan seiring dengan kondisi semua orang. 

Akhir tahun sering kali justru menjadi periode pengeluaran tinggi seperti kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan, atau persiapan tahun baru. 

Namun, tekanan untuk tetap merayakan Natal dengan standar tertentu membuat sebagian orang merasa harus menyesuaikan diri, meski kemampuan terbatas.

Konsumerisme Natal juga kerap dibungkus sebagai tradisi. 

Padahal, tradisi yang terus berubah seiring logika pasar layak dipertanyakan. 

Apalagi jika setelah perayaan usai, yang tersisa justru beban finansial atau barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.

Membicarakan konsumerisme Natal bukan berarti menolak perayaan atau menghakimi cara orang merayakan. 

Setiap orang punya pilihan dan caranya masing-masing. 

Namun, penting untuk menyadari bahwa Natal tidak harus selalu identik dengan pengeluaran besar. 

Kehangatan tidak selalu datang dari harga kado, dan kebersamaan tidak bergantung pada seberapa meriah perayaannya.

Mungkin, menyongsong Natal juga bisa menjadi momen untuk lebih sadar,  mana yang benar-benar ingin dilakukan, dan mana yang selama ini dijalani hanya karena terasa normal.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak