Ada yang bilang, Jogja adalah kota yang hangat bukan karena cuacanya, tapi karena orang-orang dan tempat-tempat kecil yang tak pernah menolak siapa pun yang datang. Bagi banyak anak kos, salah satu tempat ialah warmindo.
Malam itu, di sebuah warmindo dekat kosnya di kawasan Jogja, Rajya Reevan (20) duduk menunggu pesanan nasi orak-arik datang. Asap dari dapur kecil menyatu hangat dengan aroma kecap dan suara kompor yang berdesis.
“Kalau denger kata warmindo, yang terlintas dipikiran itu makanan murah tapi enak,” kata Rajya kepada Yoursay pada Kamis (9/10/2025). Ia tak pernah benar-benar menghitung berapa kali makan di sana dalam seminggu—karena kadang, warmindo sudah menjadi teman setia di kala ekonomi sedang tidak baik-baik saja.
Rajya hafal betul wajah sang penjual di warung langganannya: sosok yang selalu ia panggil dengan sebutan “aa” menyapa dengan ramah, seolah tahu betul isi hati para pelanggan tetapnya.
“Aa-nya tuh sering banget ngajak ngobrol, ngelucu juga kadang. Jadi rasanya akrab aja,” ujarnya. Kadang, ia datang bersama pacarnya, hanya untuk makan orak-arik dan ngobrol tanpa terburu-buru.
Bagi Rajya, warmindo bukan tempat istimewa, tapi justru teman paling jujur. Tempat ketika lapar, bingung, atau kantong sedang menipis, semuanya diterima tanpa perlu alasan. “Biasanya ke warmindo tuh pas bingung mau makan apa, atau pas uang sudah mulai menipis,” ujarnya. “Tapi ya itu, selalu jadi penyelamat,” tambahnya.
Dari sekian banyak warmindo di Jogja, salah satu warmindo yang membekas dalam pikirannya adalah “Warmindo Cakcek” di dekat kosnya punya tempat tersendiri di hati Rajya.
Ia sering nongkrong di sana, menikmati nasi hangat, tempe, dan telur berbalut kecap. “Makanannya enak, penjualnya ramah banget. Jadi betah aja di situ,” katanya. Ada rasa tenang yang tak bisa dibeli, suasana yang tetap sama meski pelanggan silih berganti.
Bagi Rajya, warmindo juga jadi salah satu tempat nostalgia saat masa merantau ke Jogja. Ia masih ingat masa SMA dulu, ketika hampir setiap sore ia dan teman-temannya mampir ke warmindo. “Dulu tuh hampir tiap hari makan di warmindo bareng temen-temen SMA, terus ngobrol lama banget,” kenangnya.
Warmindo seakan jadi ruang kecil yang menyimpan suara tawa, obrolan receh, dan rasa lapar. Sekarang, setiap kali ia duduk di warmindo, kenangan itu pelan-pelan datang kembali: wajah-wajah lama, cerita yang tak selesai, dan kehangatan sederhana yang entah kenapa tetap sama.
Di sisi lain, ada hal kecil yang selalu diingat Rajya saat lebaran tiba, yaitu saat hampit semua warmindo di Jogja serentak tutup, dan tak ada yang tahu kapan buka lagi. “Lucu aja, pas buka lagi biasanya yang masak udah beda, rasanya juga ikut berubah. Tapi tetap bisa dinikmati,” katanya.
Di mata Rajya, warmindo bukan cuma tempat mengisi perut, tapi teman setia yang akan selalu menampung tanpa menghakimi isi dompetnya.
Karena bagi banyak anak muda perantauan seperti Rajya, kehangatan tak selalu datang dari rumah. Kadang, ia datang dari balutan telur orak arik, dan sapa hangat dari sang penjual yang selalu melayaninya.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS