Dulu, tekanan nikah datang dari keluarga besar. Sekarang, datangnya barengan dari grafik harga emas yang terus menanjak. Kalau dulu ditanya, “kapan lamaran?”, sekarang rasanya pengen jawab, “nunggu harga emas turun dulu.”
Naiknya harga emas bikin banyak pasangan muda mulai recalculate rencana lamaran. Bukan karena nggak cinta, tapi karena realita. Cincin yang tadinya cuma simbol komitmen, sekarang berubah jadi angka yang bikin keringat dingin.
Cincin, Mahar, dan Ekspektasi
Buat sebagian orang , mahar atau cincin emas masih dianggap sebagai “tolak ukur” keseriusan. Padahal, yang sering kali bikin tegang bukan proses lamarannya, tapi berapa gram emas yang harus dibeli duluan.
Harga emas per gram sempat tembus Rp 1,4 juta di tahun 2024, dan kini di tahun 2025 naik hingga mencapai Rp2.399.000. “Terungkap bahwa emas Antam tidak hanya mempertahankan posisinya sebagai emas termahal, tetapi juga mencatatkan kenaikan paling tinggi secara absolut, yakni sebesar Rp43.000 per gram”.
Kenaikan ini bikin banyak pasangan menunda lamaran, apalagi yang penghasilannya masih belum stabil. Banyak calon pengantin muda di beberapa daerah memilih menunda nikah karena mahar dianggap terlalu tinggi.
Buat Gen Z, hubungan sering kali sudah dibangun dengan nilai yang lebih selaras. Tapi begitu ngomongin pernikahan, tradisi lama masih nyangkut: mahar harus emas, simbolnya harus “terlihat mampu”.
Masalahnya, generasi sekarang hidup di masa yang serba mahal kayak harga kos, kopi, bahkan skincare aja naik, apalagi emas.
Banyak pasangan akhirnya menunda rencana besar mereka karena belum siap dari sisi finansial. Padahal siap nikah itu nggak cuma soal bisa beli emas, tapi juga siap mental, komunikasi, dan tanggung jawab.
Namun, dalam budaya yang masih memandang mahar sebagai bukti keseriusan, “nggak sanggup beli emas” sering dianggap sama dengan “nggak siap menikah”.
Salah satu contohnya ada di daerah Aceh, di mana mahar emas bahkan jadi tradisi penting. Ketika harga emas naik, sebagian pasangan di sana menunda pernikahan karena nilai mayam-nya makin tinggi. Tapi hal yang sama juga terjadi di kota-kota besar: cuma bedanya, tekanannya juga datang dari lifestyle dan ekspektasi sosial yang diam-diam jadi beban.
Nggak sedikit pasangan mulai nyari cara kreatif buat menyiasatinya. Ada yang mengganti mahar dengan tabungan bersama pasangan, ada juga yang pakai simbol lain yang lebih personal, kayak buku, alat salat, atau barang sentimental yang punya makna khusus.
Beberapa juga mulai terbuka dengan konsep emas digital atau mahar simbolik: lebih hemat, tapi tetap punya nilai. Yang penting bukan karatnya, tapi komitmennya.
Karena kalau dipikir-pikir, pernikahan memang nggak bisa diukur dari harga emas hari ini aja, tapi dari seberapa siap dua orang menghadapi naik-turunnya kehidupan nanti. Besar kecilnya mahar sebenarnya nggak berhubungan langsung dengan keharmonisan rumah tangga tapi perlu diingat bahwa finansial yang mapan sangat berpengaruh.
Di generasi ini, siap menikah bukan hanya soal nunggu harga emas turun, tapi nunggu ekspektasi sosial ikut realistis juga.
Dan kalau memang belum siap secara finansial, ya nggak usah maksa nikah dulu: cinta memang ada dan penting, tapi hidup harus tetap realistis. Toh, kalau harga emas naik, kerja keras juga harus ikut naik. Jangan cuma mikir cinta, tapi nggak mikir biaya. Karena menikah itu bukan soal nekat, tapi soal siap.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS