Tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 akhirnya akan dimulai dalam dua minggu mendatang. Komisi Pemilihan Umum akan mengaktifkan kembali Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS), sementara pemungutan suara ditetapkan pada Desember tahun ini.
Kabar tersebut mengundang beberapa catatan teoretis, termasuk di dalamnya situasi pandemi Covid-19 yang tengah dihadapi. Catatan ini dimaksudkan untuk mendukung Pilkada sebagai momentum perbaikan demokrasi sekaligus perbaikan kualitas kesejahteraan publik. Pada saat yang sama, catatan teoretis ini dapat menjadi ukuran pengukuhan legitimasi pemimpin daerah yang terpilih mendatang.
Yang paling utama adalah amanat konstitusi untuk menyelenggarakan demokrasi guna pemilihan pejabat publik dengan ini berarti akan terpenuhi. Meski terdapat berbagai pengalaman pelanggaran pelaksanaan Pilkada yang berujung pada sengketa, penyempurnaan baik dari aspek normatif maupun institutif secara menyeluruh adalah suatu keniscayan guna mengokohkan amanat Konstitusi tersebut.
Hal ini menjadi penting karena demokrasi menjamin partisipasi warga negara. Sebaliknya, pengabaian terhadap partisipasi tersebut akan berakibat pada klaim dan legitimasi pemerintahan ke depannya. Oleh sebab itu, tantangan terkini adalah bagaimana upaya untuk tetap menjamin partisipasi politik di tengah pandemi Covid-19.
Selain itu, Pilkada merupakan momentum pengawasan langsung dari masyarakat. Pengawasan ini dilaksanakan dengan mendasarkan pada paling tidak tiga parameter. Masing-masing adalah akseptabilitas politik di masyarakat, integritas, dan kompetensi.
Publik akan menilai apakah partai politik atau paslon Pilkada tersebut layak atau tidak memimpin daerah sekaligus juga menjadi sinyalemen perbaikan bila gagal memeroleh kepercayaan publik.
Kemudian konsolidasi seluruh elemen masyarakat pasca Pilkada, terutama antar paslon dan pendukung, adalah langkah awal bukti kualitas demokrasi di Indonesia berjalan baik. Ini tidak hanya akan mengurangi ketegangan psikologi publik tetapi juga meningkatkan ikhtiar perwujudan kesejahteraan masyarakat via politik sosial (Hoefnagels, 1973).
Berdasarkan refleksi tersebut, dapat dicermati bahwa hubungan antara hukum dan demokrasi sesungguhnya bersifat resiprokal. Landasan bagi timbulnya demokratisasi adalah rechtsstaat moderen karena tanpa itu warga negara tidak akan menggunakan hak politiknya dengan kebebasan penuh dan mandiri (Linz; Alferd Stephan, 2001).
Ini berarti, jika seluruh institusi negara bekerja sesuai dengan prinsip negara hukum, maka akan semakin tinggi kualitas demokrasi.
Oleh sebab itu, syarat terselenggaranya Pilkada yang demokratis kaitannya dengan prinsip rechtsstaat adalah (i) perlindungan konstitusional, (ii) penegakan hukum yang berkeadilan, serta (iii) pedagogi politik publik. Pelaksanaan Pilkada tahun ini di Indonesia secara otomatis dapat diukur kualitasnya dengan menguraikan satu-persatu syarat tersebut.
Tiga Elemen
Pertama, perlindungan konstitusional dapat dipahami sebagai jaminan hak-hak individu yang diatur oleh hukum sekaligus menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin (Dedi Mulyadi, 2012). Ini tercermin dari pengaturan mengenai kepemiluan dengan norma utama UU No. 7 Tahun 2017. Hak-hak asasi yang secara substantif dilindungi undang-undang a quo antara lain free and fair election.
Pengejawantahannya berupa pengawasan terhadap proses pemilihan yang sesuai dengan hak asasi manusia, kebebasan berkumpul, berpendapat, dan kebebasan atas paksaan atau tekanan (free election); dan pengawasan terhadap proses pemilihan dengan kesejajaran terhadap seluruh penyelenggara Pilkada. Baik itu berupa hak suara yang universal, liputan media yang berimbang, maupun perlakuan yang adil dan tanpa paksaan dari pemerintah (fair election).
Kedua,kata kunci dari Pilkada yang bebas dan adil adalah penegakan hukum yang berkeadilan. Paling tidak ada tiga faktor yang paling mempengaruhi penegakan hukum dalam suatu negara hukum.
Pertama, peraturan hukum positif yang menjadi refleksi dan aspirasi masyarakat. Kedua, terdapat institusi penegak hukum yang kuat dan tangguh. Ketiga, adanya kesadaran hukum masyarakat yang terus berkembang (Eddy O.S. Hiariej, 2016).
Ketiga faktor tersebut saling berkelindan erat satu sama lain dan menjadi pilar-pilar dari kerangka penegakan hukum di Indonesia. Ketidakselarasan di antara ketiga faktor tersebut akan membuat hukum kehilangan wibawanya dan pendayagunaannya tidak akan efektif.
Dalam konteks kepemiluan, pilar-pilar penegakan hukum tersebut dilaksanakan oleh KPU, Bawaslu, Kejaksaan, dan Kepolisian. Sehingga, setelah adanya perlindungan konstitusional dari uu kepemiluan, proses rekrutmen-pendidikan, struktur organisasi aparat penegak hukum, serta sarana dan prasarana instansi hukum tersebut menjadi hal yang primer.
Ketiga, pedagogi atau pendidikan politik publik. Mandat ini diberikan oleh Konstitusi salah satunya kepada partai politik. Agaknya, sikap pragmatisme lebih mengambil banyak warna dalam politik praktis dibandingkan dengan sikap pedagogis. Terbuktinya kasus tindak pidana pemilu dalam beberapa perkara, semisal money politic atau suap, adalah penanda bahwa publik belum sepenuhnya tercerdaskan di dalam menggunakan hak politiknya.
Selain itu, potensi akan tingginya sentimen dalam percakapan publik selama kontestasi sesungguhnya diakibatkan oleh rendahnya partisipasi politisi untuk membekali masyarakat dengan argumen-argumen politik. Terutama dalam hal pengambilan kebijakan. Sehingga perlu keterbukaan sikap partai politik sekaligus para politisi untuk bertungkus-lumus mencerdaskan publik, memberi dan menerima kritik dengan keterbukaan pikiran, serta menjunjung ide-ide utama politik nasional.
Momentum Realisasi
Pada titik ini, pemimpin yang terpilih melalui kontestasi demokrasi memiliki legitimasi publik dan yuridis yang kuat. Yang tersisa adalah ekspektasi publik terhadap realisasi janji dan program yang telah ditawarkan selama masa pencalonan. Tantangan terberat pemimpin terpilih adalah memastikan situasi masyarakat tetap kondusif dalam situasi kenormalan baru pasca pandemi.
Hal itu dapat dicapai dengan cara (i) pemerintah daerah harus menyesuaikan pola pelayanan birokrasi yang mengutamakan kepentingan dan keselamatan umum; (ii) pemberdayaan sektor swasta dan kolaborasi masyarakat lokal untuk membangun kembali roda ekonomi pasca pandemi; dan (iii) pengorganisasian institusi pemerintah yang efektif dalam mengendalikan persoalan sumber daya, kesehatan publik, sosio-ekonomi, dan juga penegakan hukum.
Pada jawaban atas tiap-tiap tantangan itulah, semua catatan Pilkada demokratis tahun 2020 akan berarti bagi masyarakat dan pembangunan negara kita bersama.