Sambut Hari Perempuan Internasional, Yoursay Serukan Kampanye Pemberdayaan Lewat WEMeet: WEFearless

Ayu Nabila | ADELLA Aini
Sambut Hari Perempuan Internasional, Yoursay Serukan Kampanye Pemberdayaan Lewat WEMeet: WEFearless
Poster acara "WE Meet," salah satu rangkaian kampanye "WE Fearless". Acara ini diselenggarakan bersama Ayu Nabila sebagai redaktor Yoursay dan pegiat isu perempuan, dan Hiromi Kyuna sebagai pemantik, Rabu (21/2). (Yoursay.id)

WEMeet: WEFearless merupakan sesi diskusi yang diselenggarakan oleh Yoursay secara daring pada Rabu (21/02/24) lalu. Acara ini digelar untuk para volunteer sebagai salah satu rangkaian kampanye "WE Fearless," yang berfokus pada pemberdayaan perempuan, serta upaya Yoursay membersamai sekaligus menyambut Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret mendatang.

Yoursay berharap, baik "WEMeet: WEFearless" maupun kampanye “WEFearless” itu sendiri, bisa menjadi ruang aman untuk perempuan sesama perempuan dalam memperjuangkan berbagai keresahannya sebagai korban konstruksi budaya patriarki.

Pada kesempatan "WEMeet: WEFearless" ini, peserta yang hadir bisa saling mengobrol secara langsung bersama Ayu Nabila selaku pemateri yang telah terlibat dalam gerakan perempuan sejak 2019, serta dibersamai oleh Hiromi Kyuna sebagai pemantik diskusi.

Antusiasme peserta dalam sesi diskusi ini sangat interaktif, terbukti dengan respons dan pandangan mereka tentang stigma yang pernah dialami di lingkungan sekitar. 

Tak hanya itu, bincang-bincang tersebut juga menyinggung soal penyebutan dan penggunaaan kata “perempuan” yang jauh lebih inklusif ketimbang wanita. Penyebutan perempuan sejak pada awal diskusi, menjadi insight baru bagi teman-teman yang hadir.

Ayu memaparkan bahwa kata “perempuan” dan "wanita" meskipun selama ini dianggap sinonim, tetapi faktanya, kedua kata tersebut memiliki makna bersebrangan, tidak netral dan bersifat politis serta ideologis.

Ayu menyebut, kata perempuan berasal dari kata "ampu/empu" yang artinya sokong, memerintah, penyangga, penjaga keselamatan, bahkan wali. Pada makna lain, kata "perempuan" juga merujuk pada nilai-nilai tidak di bawah, tetapi sejajar, bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki.

Sementara, kata "wanita," Ayu memaparkan berasal dari bahasa Sansekerta, vanita dan memiliki arti “yang diinginkan”. Dalam hal ini, wanita bukan merujuk pada perbedaan jenis kelamin tapi ditempatkan sebagai “objek” yang selalu diinginkan oleh laki-laki. Kata vanita kemudian diserap ke bahasa Jawa Kuno menjadi wanita.

"Makanya, kata "perempuan" tuh jauh lebih inklusi dipakai untuk mewakili segala perjuangan perempuan akar rumput sekaligus menghormatinya sebagai sesama manusia yang punya hak setara ketimbang (penggunaan) kata "wanita," pungkas Ayu.

Namun sayangnya, jauh dari makna kata "perempuan" itu sendiri, perempuan justru banyak sekali menerima diskriminasi, seperti kesempatan yang tidak bisa dirasakan sama halnya dengan laki-laki hingga kini.

Sebagai pemateri, Ayu mengajak para peserta untuk bersama melawan budaya patriarki dari hal-hal paling dekat di sekitar kita, yakni diri sendiri.

Ia juga berharap, kita sebagai perempuan untuk tidak mengambil peran dalam melanggengkan pertengkaran antara perempuan ke sesama perempuan. 

“Karena begitu terbatasnya kapital dan ruang yang diberikan ke perempuan, jadi memang ngga semua perempuan bisa punya privilege untuk menempuh pendidikan misalnya. Nah, kalau kamu, saya, kita memiliki (privilege) itu, harus digunakan untuk memberdayakan sesama perempuan, mewakili suara-suaranya bukan justru dijadikan alat untuk merendahkan sesama perempuan,” ujar Ayu dalam sesi diskusi sore itu.

Sebagaimana perempuan yang membahas perempuan dengan segala beban berlapisnya, maka diskusi ini terjalin begitu hangat sekaligus panas, tak terkecuali saat membicarakan perempuan dan tuntutan pernikahan. 

Seperti yang kita tahu masih banyak pemikiran yang beredar di luar sana tentang patokan usia perempuan menikah.

Padahal, Ayu dalam hal ini juga menegaskan menikah bukan soal usia saja dan tuntutan ini baginya, tak lain buah hasil  dari standar ganda masyarakat yang menjerat perempuan. 

“Nah, patokan usia perempuan menikah dan tuntutan menikah juga salah satu buah hasil standar ganda masyarakat yang menjerat perempuan sampai hari ini. Penyebutan “perawan tua” cuma label untuk perempuan aja toh selama ini? Mana ada masyarakat mau sebut (laki-laki) sebagai "perjaka tua". Masyarakat cenderung sisnis melihat perempuan yang memilih tidak menikah atau menikah saat umur 30an ke atas kayak sebuah kutukan, tapi kalau ke laki-laki bakal ramah aja pandangan mereka,” pungkas Ayu saat ditanya.

Sesi diskusi "WEMeet: WEFearless" diakhiri dengan harapan Ayu, agar para perempuan dapat menjadi pendukung antar sesama perempuan, secara bersama-sama meruntuhkan stigma yang berkembang di luar sana dan saling menjaga-merawat dalam keadaan apa pun. Sebab sejatinya, perempuan juga berhak atas ruang yang sama dan setara.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak