Pak Rahmat masih berkacak pinggang menatapku lekat. Sementara teman-teman sekelas, tertawa keras mendapatiku berdiri gemetar. Kata Pak Rahmat, tak ada yang perlu ditakutkan. Aku sekadar bercerita kejadian sehari-hari di depan kelas. Itu saja. Masalahnya, aku tidak sanggup bercerita tentang apa yang terjadi di rumah, Pak Guru.
“Kau boleh kembali ke tempat dudukmu, tetapi nilaimu kosong.”
Aku kian gemetar. Sangat bergetar. Baiklah, aku akan berusaha menceritakannya, Pak Guru.
***
Hampir sebulan ini, Bapak dan Ibu selalu bertengkar. Awalnya, mereka menghentikan pertikaian saat mendapatiku berdiri terpaku. Tetapi, akhir-akhir ini mereka tak lagi peduli, apakah aku mengamati atau tidak. Keduanya tetap adu mulut. Bahkan tak jarang Bapak membanting pintu kamar. Setelah adegan itu, kudapati Ibu menangis di sudut ruang tamu.
Kalau begini, aku selalu menghampiri Ibu. Namun, perempuan itu tak mau dilihat, apalagi diajak bicara saat menangis. Ibu selalu menyuruhku ke kamar. Setiba di pintu kamar, keduanya kembali beradu kata-kata, yang bagiku sangat menakutkan saat melihat ekspresi wajahnya.
“Tak bosankah kamu bertengkar setiap hari? Tak bisakah kamu berpikir anak kecil seperti Sani tak baik melihat pertengkaran semacam ini?”
“Kamu yang tak bisa berpikir, Misni! Kamu ini seorang istri. Harusnya kamu taat kepada suami, bukan membangkang seperti ini.”
“Taat kepada suami yang tak tahu diri sepertimu, begitu? Suami yang pantas ditaati hanya lelaki yang menyuruh kepada kebaikan, bukan keburukan sepertimu.”
“Kamu pikir poligami itu tak baik? Harusnya kamu beruntung aku minta baik-baik. Bukan menikahi orang lain di belakangmu. Lagipula, kamu ini lulusan pesantren. Kenapa bodoh soal surga neraka?”
“Astaga, Sa’di! Kamu kira orang yang berpoligami langsung masuk surga? Apa bedanya dirimu dengan teroris yang dengan membunuh orang langsung bisa mendapatkan tiket surga? Ada banyak jalan menuju ke sana. Bahkan kebaikan yang kita anggap baik, harus diuji dulu apakah itu baik atau justru bisikan setan yang disampul kebaikan. Termasuk keinginanmu itu. Apakah murni kebaikan atau berkedok nasfu di ranjang.”
“Semakin hari, kamu semakin melonjak saja. Perempuan itu tak boleh melawan suami apalagi menceramahi. Haram!”
Bapak pergi. Ibu kembali tersedu di kursi ruang tamu. Aku yang mengintip dari pintu kamar, awalnya tak paham kalau poligami artinya menambah istri. Aku baru tahu, saat Ibu menyalakan televisi yang menyiarkan berita ustaz-ustaz yang poligami. Sejak itu aku tahu, kalau Bapak mau menambah seorang ibu.
Aku takut membayangkan diri, bagaimana nantinya Bapak akan beristri lagi. Pasti Bapak berada di rumah sesuai giliran saja. Entah dua hari sekali atau seminggu sekali. Aku tahu cerita ini, ya, dari ustaz-ustaz di tivi itu.
Kalau boleh aku bertanya, sebetulnya aku ingin bertanya tentang surga pada Bapak. Dia selalu menyebut Ibu yang pasti tak masuk sana lantaran melawan Bapak dan tak mau dipoligami.
Padahal aku juga ingin bertanya kepada Bapak, seandainya dia jadi poligami nantinya, apakah aku tak masuk surga juga karena sebetulnya aku tak mau memiliki ibu baru? Apakah aku juga tak bisa mencicipi bau surga hanya karena aku ingin Bapak menyayangi aku dan Ibu saja? Apakah anak sepertiku tak bisa mendapatkan surga?
Lambat laun, aku terbiasa dengan pertengkaran Bapak dan Ibu. Bahkan, keduanya sudah biasa bertengkar sembari Ibu memelukku di sudut ruang tamu. Saat Ibu sesegukan, aku ikut menangis. Saat Ibu marah besar, aku turut merasakan. Tak siang tak malam, aku benar-benar terbiasa dengan keadaan yang sebenarnya tak kuharapkan ini. Namun, semuanya terasa tak biasa, saat semalam Bapak menyodorkan selembar kertas, dan menyuruh Ibu menandatangani kertas bermaterai itu.
“Kamu sudah gila, Sa’di! Sampai ke liang kubur pun tak sudi aku menandatangani kertas ini. Tak sudi aku dimadu.”
“Benar-benar kamu tak tahu diri. Apa yang kamu takutkan, Misni? Aku bakal adil membagi waktu dan rezeki. Lagipula, ini yang akan membawamu ke surga. Atau jangan-jangan kamu lebih nyaman di neraka? Percuma kamu jadi santri kalau tak ikut sunnah Nabi. Kamu tak mau jadi pengikut Rasul?”
Ibu yang awalnya memelukku, melepaskan pelukannya lalu beranjak ke kamar. Setelah itu, dia membawa sebuah buku yang agak tebal.
“Bacalah, Sa’di! Menjadi manusia apalagi menjadi suami harus berilmu. Kalau kamu berpikir ayat poligami itu langsung memerintahkan beristri empat, bacalah buku ini. Jangan berguru ke mbah google. Cari tahu, sebab musabab turunnya ayat tersebut. Niscaya kamu tak salah paham tentang poligami.”
Ibu menarik lenganku dan membawa ke rumah Mbah. Di sepanjang jalan, Ibu tak henti-hentinya menyeka air mata. Sementara aku yang kebingungan mendiamkan tangisan Ibu, hanya bergumam kalau orang-orang di angkot melihat Ibu yang terus sesegukan. Lalu Ibu memalingkan muka ke jendela. Menyembunyikan air mata yang sebetulnya tak bisa dihentikan.
Setiba di rumah Mbah, perempuan tua itu ikut sesegukan usai mendengar cerita Ibu. Lalu menyuruhku tidur terlebih dulu. Katanya, tak baik anak kecil sepertiku tidur terlalu malam. Dan aku menurut. Setelah di kamar, aku tak benar-benar menurut. Aku harus menguping keduanya. Bagaimanapun juga, ini tentang Bapak dan Ibu. Aku harus tahu tentang keluargaku.
“Kadang lelaki itu tak sadar kalau keinginan menambah istri justru karena nafsu. Yang dibawa soal surga neraka dan sunnah Nabi. Poligami sudah disalahartikan, Misni. Bahkan ceramah dan tulisan-tulisan tentang poligami, lebih banyak dari sudut pandang lelaki. Bukan dari pandang kita. Perempuan mana yang ingin dibagi baik tentang cinta ataupun urusan ranjang?”
Ibu terus merunduk mendengar ucapan Mbah. “Sebagai seorang ibu, tentu aku lebih memilih menyelamatkan rumah tanggamu. Terlebih, kamu sudah memiliki seorang anak. Tetapi sebagai perempuan, Misni. Aku lebih memilih menyelamatkan perasaan daripada setiap hari makan hati dan berujung kemarahan pada Tuhan. Apalagi, Sa’di, suamimu. Aku yakin dia ingin poligami karena nafsu. Bukan aku berburuk sangka, tapi sudah berapa kali kudengar dia bermain dengan sejumlah wanita, dan aku menyembunyikan rahasia ini darimu.”
***
Inilah kisah yang sebetulnya sulit untuk diceritakan. Apalagi, sebelum berangkat sekolah, Bapak datang mengucap talak tiga. Kata Mbah, dia tak lagi menjadi suami Ibu, tetapi masih menjadi bapak bagiku. Tetap saja aku tak percaya. Terlebih, Bapak langsung menikahi sahabat Ibu usai bercerai. Dan istri baru itu, adalah ibu salah seorang kawanku di kelas ini, Pak Guru.