The Medium sebagai film horor layak didaulat sebagai salah satu yang terseram sepanjang tahun ini. Meskipun gaya pembawaannya tidaklah baru, tetapi atmosfer mencekam yang dibangun perlahan serta pembawaan para karakter yang manusiawi, sanggup membangkitkan kesan merinding yang ‘nempel’. Ditambah dukungan sound effect yang kuat, situasi serta kondisi latar tempat yang terasa familiar “Asia banget,” The Medium semakin terasa lengkap.
Secara singkat, film ini menceritakan sekelompok tim film dokumenter merekam dan menyelami aktivitas Nim, seorang dukun (shaman) di daerah Isan, Thailand, dan lika-liku spiritual yang dialaminya.
Tentang ketakutan dan keimanan yang berkonflik, dosa masa lampau, usaha menghindari takdir, hingga harga teramat mahal yang harus dibayar karenanya. Ulasan ini, akan menaruh perhatian lebih pada bagaimana sebuah kepercayaan religius berfungsi dalam pertarungan melawan spirit jahat dalam film ini.
Yang Ghaib Biarlah Ghaib
Hal pertama yang patut mendapat sorotan adalah absennya wujud visual sang dewa pelindung maupun sosok iblis pengganggu. Sepanjang film berlangsung, kedua entitas ghaib ini tak pernah diperlihatkan wujud aslinya. Ketakutan penonton tidak dirangsang melalui mata, melainkan dipaksa untuk berimajinasi serta ‘meraba’ sosok-sosok yang ghaib tersebut.
Selain berfungsi membangkitkan ketakutan dan rasa penasaran penonton, absennya visual turut mempertegas bahwa aspek “kepercayaan” sungguh menjadi elemen kunci dalam film ini.
Para aktor (dan penonton) hanya menyaksikan gejala, artefak, dan tanda-tanda keberadaan keduanya. Tak ada yang sanggup membuktikan kalau dewa Ba Yan memang merasuki Nim, atau memang ada iblis jahat haus darah yang merasuki Mink, selain kepercayaan penuh bahwa gejala fisik, perilaku, dan kejiwaan yang dialami kedua tokoh adalah tanda-tanda kerasukan.
Supremasi Ba Yan
Selain berhasil mengeksploitasi ketiadaan wujud visual sebagai penambah unsur misteri, hal lain yang perlu diperhatikan kedua adalah justru kehadiran seperangkat sistem kepercayaan lokal pada dewa Ba Yan, yang menjadi elemen esensial dalam film.
Di awal, penonton akan diperkenalkan dengan konteks kepercayaan setempat. Sistem kepercayaan inilah yang diperlakukan sebagai sumber pengetahuan, yang pada gilirannya nanti, dipercayai sebagai solusi dari masalah yang kadung membesar. Persoalan spiritual yang timbul dilihat dari perspektif dukun Nim sebagai representasi sang dewa, termasuk apa yang harus dilakukan untuk meresponnya.
Kepercayaan lokal ini begitu kuat mengakar, sampai-sampai institusi keagamaan yang lebih “modern” pun nampak tidak dapat berkontribusi apa-apa pada konflik ini. Bahkan, upaya Noy (ibu Mink) menggunakan ritual dari kuil selain Ba Yan pun tak direstui dukun Nim.
Sikap Noy yang enggan percaya dengan dukun juga terpaksa luruh karena telah kehabisan akal untuk menyelamatkan anak perempuannya. Rasa cinta pada anaknya mengalahkan ketakutan dan penolakannya terhadap spirit Ba Yan, berubah menjadi kepercayaan penuh atas entitas tersebut.