Selain tersemat negara kepulauan, negeri ini juga tersemat sebagai negara agraris. Meskipun, kuantitas jumlah masyarakatnya menurun, namun kehidupan agraris masih dijalani oleh sebagian masyarakat negeri ini. Agraris kiranya mengandung berbagai suratan kultur yang pantas untuk dikhidmati. Pasalnya, kultur masyarakat agraris begitu sarat akan nilai, entah yang sudah terkuak ataupun belum. Salah satu contohnya ialah klontong sapi. Secara parsial, klontong sapi paling banyak disebut sebagai pengungkapan nama atas benda berbunyi yang terkalungkan di leher sapi. Namun, sebutan lain juga tersemat di berbagai daerah, misalnya kelunthong sapi, lonceng sapi, korakan sapi, dan lain sebagainya.
Sapi dan petani menjadi bagian yang tak terpisahkan, sebab kebanyakan petani bisa dipastikan akan mempunyai sapi. Hal ini disebabkan karena simbiosis mutualisme yang terajut antar keduanya, sapi memberikan kotorannya sebagai pupuk dan petani memberikan tanamannya sebagai makanannya. Selain itu, sebelum ada mesin, sapi menjadi penolong petani dalam mengolah tanah sebelum tanam. Meskipun, fungsi tersebut sudah tergerus tapi sapi masih mempunyai fungsi lain, yakni sebagai lading investasi bagi petani.
Sapi-sapi yang dipelihara petani, umumnya banyak kita jumpai aksesoris klontong yang terkalung di lehernya. Di klaten, benda tersebut disebut dengan klontong sapi. Barangkali penamaan ini mengadopsi atas bunyi yang terlahir dari benda itu. Fungsi dari klontong sapi selain sebagai aksesoris ialah sebagai penanda keamanan dari sapi itu. Jika malam hari, petani memantau keberadaan sapi dari rumahnya dengan memanfaatkan bunyi dari klontong ini. Kedua fungsi tersebut memang benar adanya. Namun, secara emperik penulis yang hidup dalam kultur agraris, fungsi atau makna dari klontong sapi tidak sesederhana itu.
Muasal klontong sapi
Hingga kini, masyarakat Klaten masih belum mengetahui ihwal muasal dari penggunaan klontong sapi. Secara parsial, penggunaan klontong sapi dilakukan secara turun-temurun dari leluhurnya. Namun, melihat perjalanan historis yang ada, erat hubungannya penggunaan klontong sapi antara India dan Jawa, khususnya Klaten.
Bali Express melansir tulisan redaksi dengan tajuk “Sejarah Genta; dari klontong Sapi Menebar Getaran Magis,”
“Suara klontongan sapi tersebut diyakini mampu mengantarkan permohonan para pengembala kepada para dewa, terutama pada saat sapi sedang menggeleng-gelengkan kepalanya.”
Hal serupa juga dituliskan di Hindu.web, “Adanya kepercayaan bahwa suara klontongan sapi ini mampu menghubungkan pengangon kepada para dewa, …”
Atas paparan di atas, barangkali muasal penggunaan klontong sapi bermula dari kepercayaan di India. Sebab, masyarakat India dan nusantara sudah berinteraksi sejak lama. Atas interaksi ini, dapat kita lihat akulturasi kultur yang ada, mulai dari ornament, bahasa, bahkan kepercayaan.
Eratnya hubungan antara India dan nusantara tentu menghasilkan akulturasi kultur yang kiranya masih ada hingga kini. Bermula dari penyebaran agama Hindu-Budha, kepercayaan yang dianut masyarakat juga tak luput terakulturasi. Dalam ranah agraris, lekatan yang tidak dapat terpisahkan selanjutnya ialah Dewi Sri. Peristiwa ini dapat dilihat dari adanya mitologi yang dipercaya orang Jawa, khusunya Klaten.
Di Klaten, Dewi Sri dianggap sebagai dewi kesuburan. Atas kepercayaan itu, berbagai ritus tertaut dilakukan oleh para petani. Misalnya, Tradisi wiwitan. Tradisi ini ditujukan untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil panen yang didapatkan, sekaligus sebagai wahana untuk menghormati Dewi Sri. Pola serupa juga dilakukan oleh masyarakat di luar Klaten, misalnya Tradisi Mapag Sri di Sumedang, Jawa Barat. Tradisi ini bertujuan untuk menjemput Dewi Sri yang dilakukan ketika akan melakukan panen. Dewi Sri sendiri dimaknai oleh masyarakat sebagai simbol dari padi itu sendiri. Tak khayal jika Dewi Sri sering disebut sebagai dewi padi. Pola lainnya masih dapat dijumpai di daerah lain, misalnya di Magelang terdapat tradisi AUM Tandur dan AUM panen, dan lain sebagainya.
Dewi Sri selain sebagai dewi kesuburan serta dewi padi, Dewi Sri juga merupakan saktinya Dewa Wisnu dalam kepercayaan Hindu. Disadur dari penelitian Titi Surti yang bertajuk “Dewi Sri dalam Kepercayaan Masyarakat Indonesia” tahun 2020, “Dewi Sri dalam agama Hindu dikenal sebagai istri Dewa Wisnu.” Dewa Wisnu mempunyai “kendaraan” yakni Sapi.
Di Kudus, ketika terjadi upacara Idul Adha, terdapat norma yang melarang masyarakat mempersembahkan sapi sebagai hewan korban, yang kemudian diganti dengan kerbau. Hal ini ditujukan untuk menghormati umat Hindu karena Sapi merupakan “kendaraan” Dewa Wisnu. Dari hal ini, barangkali penghormatan serupa juga dinunaikan oleh masyarakat agraris di Klaten.
Selain akulturasi kultur yang terjadi seperti yang terpapar sebelumnya, penghormatan terhadap Dewa Wisnu mewujud menjadi perlakuan terhadap sapi: dengan memberikan kalung terhadap sapi. Selain itu, bunyi klontong sapi menjadi bunyi yang dianggap sakral bagi masyarakat Hindu. Hal ini juga yang menjadi kepercayaan Hindu dalam penggunaan genta dalam upacara agama Hindu. Bali Express melansir dalam tajuk redaksi “Sejarah Genta; dari klontong Sapi Menebar Getaran Magis,”
“Hal inilah yang menyebabkan klontongan sapi itu lalu disucikan dan diberi nama genta sebagai sarana untuk menghubungkan manusia di India dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.”
Dari paparan di atas, terdapat benang merah bahwa penghormatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap Dewa Wisnu yang “mengendarai” sapi, serta penghormatan terhadap Dewi Sri (sebagai sakti/istri dari Dewa Wisnu) sebagai dewi padi terlontarkan menjadi perlakuan terhadap sapi. Sedangkan, benang merah sapi dan para petani juga sudah terpapar. Kiranya, hal tersebut yang mendasari penggunaan klontong sapi yang berkembang di masyarakat.
Strata
Klontong sapi menyiratkan makna lain selain fungsi-fungsi yang tersurat. Di Klaten, setidaknya terdapat tiga jenis klontong sapi: 1) klontong dari bahan perunggu, 2) klontong dari bahan besi, dan 3) klontong dari bahan kayu. Uniknya, ketiga bahan ini menjadi sebuah penggambaran strata di dalam masyarakat. Secara emperik, peristiwa ini benar terjadi. Sebab, di balik penggunaan klontong dengan jenis bahan yang mana, penggunaan tersebut menandai kelas sosial pengguna.
Dari observasi yang didapatkan, klontong sapi dengan bahan perunggu menandakan kelas atas. Biasanya, orang dengan pemilihan klontong dengan bahan ini mempunyai sawah yang banyak, bahkan sudah mampu untuk menyewakannya ke orang lain. Selain itu, sapi yang dimiliki juga lebih dari tiga. Kemudian, klontong sapi dengan bahan besi. Pada tingkatan ini, biasanya petani yang memilih bahan besi berada dalam strata sedang. Mereka memiliki sapi di bawah atau sama dengan tiga. Sedangkan sawahnya biasanya dua atau tiga patok.
Terakhir, klontong sapi dengan bahan kayu. Dalam tingkatan ini, petani yang menggunakan klontong dengan bahan kayu dianggap sebagai kalangan bawah. Sebab, sapi yang dipelihara merupakan sapi gadhoh (milik orang lain kemudian ia memeliharanya dengan perjanjian tertentu). Sedangkan sawahnya juga sama: petani mengerjakan pekerjaan sawah orang lain, namun dengan perhitungan bagi hasil terhadap pemilik sawah.
Klontong sapi menjadi sebuah bunyi yang sarat akan kemananan sapi. Namun di luar itu, terdapat siratan makna yang lain. klontong sapi menjadi sebuah benda kultural bagi masyarakat agraris. Tulisan ini kiranya menjadi sebuah tebaran pengetahuan atas kekayaan yang ada di negeri ini. semoga panjang umur!