Sikap disiplin dan tanggung jawab penting dimiliki oleh setiap orang. Kedua sikap ini seyogianya mulai diajarkan oleh para orangtua terhadap anak-anaknya sejak usia dini. Tujuannya, agar kelak ketika anak beranjak besar kedua sikap tersebut telah meresap ke dalam jiwa mereka.
Harapannya, anak-anak kelak dapat tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, selalu berpikir ulang ketika akan melakukan sesuatu, dan selalu bisa mempertanggungjawabkan setiap apa yang telah menjadi keputusan hidupnya.
Bicara tentang pentingnya membekali diri dengan sikap disiplin, ada sebuah kisah menarik yang sarat renungan dan pelajaran berharga dalam novel Bapangku Bapunkku karya Pago Hardian. Novel yang pernah memenangkan juara kedua dalam lomba menulis novel inspiratif Indiva tahun 2014 ini berkisah tentang perjuangan seorang ayah dalam membesarkan anak-anaknya dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Salah satu bentuk cinta dan kasih sayang adalah dengan menerapkan sikap disiplin sejak usia dini. Dikisahkan, Bapang (panggilan lain dari ayah) memiliki 4 anak yang sejak kecil dididik dengan penuh kedispilinan. Hukuman menjadi cara Bapang yang diberikan kepada anaknya bila sampai melanggar aturan. Namun, hukuman yang diberikan itu sifatnya mendidik. Misalnya, anaknya disuruh menyalin ayat-ayat Al-Quran sebagai hukuman atas kesalahannya. Jadi sama sekali bukan hukuman fisik yang membuat anak merasa trauma dan mengalami cedera.
Ternyata, sikap disiplin yang diterapkan oleh Bapang itu diwariskan oleh Kakek atau ayah Bapang. Meski Bapang berasal dari keluarga berada, tapi Kakek sangat disiplin dalam mendidik anak-anaknya. Karenanya, tak heran ketika Bapang menikah dan memiliki empat anak, Bapang juga menerapkan sikap disiplin dan juga mengajarkan hal-hal terkait budi pekerti kepada anak-anaknya.
Selain itu, Bapang juga mengajarkan pada anak-anaknya agar memiliki kebiasaan membaca sejak kecil. Ajaran itu bukan sekadar nasihat tanpa bukti nyata, sebab sejak masih muda, Bapang sudah memiliki hobi membaca dan rajin membeli buku. Maka tak heran bila Bapang memiliki perpustakaan sendiri di rumah.
Ada sebuah kisah mengharukan yang dialami Bapang saat usianya masih muda. Tepatnya saat ia masih berstatus mahasiswa di salah satu universitas di Yogyakarta. Pada suatu malam, ketika Bapang sedang menunaikan shalat Tahajud, tiba-tiba di luar kamarnya terdengar keributan. Rupanya ada maling jemuran yang nyaris tertangkap. Dan, maling yang adalah seorang pemuda itu tiba-tiba masuk ke dalam kamar kontrakan Bapang yang pintunya dalam keadaan terbuka.
Kepada Bapang, maling itu memohon perlindungan supaya selamat dari gebukan orang-orang yang sedang mengejarnya. Bapang akhirnya memutuskan untuk menolong maling tersebut. Bapang menyuruhnya agar bersembunyi di bawah ranjang.
Singkat cerita, sejak kenal Bapang akhirnya Bagus, nama maling yang kesehariannya menjadi anak jalanan itu bertobat. Tak hanya itu, Bapang yang memiliki uang cukup banyak kiriman dari orangtuanya itu berusaha membantu kehidupan perekonomian Bagus dan istrinya. Memberi mereka tempat tinggal, mengajari pendidikan agama, dan juga mengajari cara berbisnis, berjualan bakso dan mi ayam keliling, hingga akhirnya Bagus menjadi orang sukses di kemudian hari.
Tentu kisah Bapang bersama anak-anaknya dalam novel terbitan Indiva ini masih sangat panjang dan diwarnai dengan liku. Banyak pelajaran berharga yang bisa diperoleh dari kisah Bapang. Misalnya, tentang upaya mengajarkan kebiasaan membaca sejak dini, pentingnya menerapkan sikap disiplin pada anak, dan ajaran menolong sesama tanpa pandang bulu. Sebuah novel yang menarik dan sangat menginspirasi para pembaca.