Awal tahun 2020, ada dua peristiwa aktual yang berkaitan dengan Pangeran Diponegoro. Pertama, pada 8 Januari 2020, dilaksanakan peringatan 165 tahun meninggalnya Sang Pangeran oleh Patrapadi (Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro) bekerjasama dengan Pemkot Magelang di Museum BPK RI.
Kedua, pada 10 Maret 2020, Belanda mengembalikan Keris Naga Siluman (yang disebut-sebut sebagai salah satu senjata milik Pangeran Diponegoro) kepada Indonesia melalui Presiden Joko Widodo di Istana Bogor.
Sekadar trivia, dalam otobiografi Babad Diponegoro, Sang Pangeran tidak pernah menyebut Keris Naga Siluman sebagai pusaka miliknya.
Dalam daftar pusaka Pangeran Diponegoro yang dilaporkan Jenderal De Kock kepada otoritas kolonial juga tidak ada nama keris ini. Yang meragukan banyak pakar perkerisan, pusaka yang disebut Naga Siluman ini justru ber-dhapur Naga Sasra atau naga bersisik seribu. Lagipula, luk-nya hanya 11, bukan 13. Wallahu a’lam.
Bicara soal Pangeran Diponegoro, dialah tokoh utama yang menggembosi kas Kerajaan Belanda untuk menumpas perang sabil yang dikobarkannya, 1825-1830. Tokoh ini dianggap sebagai pemantik bola salju kemerdekaan Indonesia, dengan urutan: Perang Diponegoro membangkrutkan Kerajaan Belanda. Keadaan ini memicu dilaksanakannya Tanam Paksa yang selanjutnya memakmurkan Belanda. Kemakmuran ini, mendorong kaum oposisi mencetuskan Politik Etis bagi pribumi Nusantara yang kemudian melahirkan Kebangkitan Nasional.
Di bangku sekolah, sosok Pangeran Diponegoro tak banyak diulas, kecuali seputar: dia anak Sultan Hamengku Buwono III, dia menyulut peristiwa kolosal karena Belanda menodai kehormatan bangsawan Yogyakarta, dengan membuat jalan raya—atau ada buku pelajaran yang menyebut: jalur kereta api, padahal jalur kereta api baru melewati Yogyakarta, 62 tahun setelah berakhirnya Perang Diponegoro—melewati makam leluhur Sang Pangeran.
Buku lain—yang saya pelajari saat bersekolah—menyatakan: Diponegoro mengobarkan perang, karena dirinya tidak dinobatkan sebagai sultan penerus takhta ayahanda, padahal sejatinya Sang Pangeran yang menolak takhta, yakni antara tahun 1811-1816 dan pada 19 Agustus 1816.
Di sisi lain, ada rilis informasi keliru tentang Pangeran Diponegoro. Sejumlah situs web, mengatakan: Diponegoro gemar menenggak anggur, padahal cuma satu kejadian di perjamuan oleh Residen Valck pasca-penangkapan. Itupun bukan anggur yang memabukkan.
Ada lagi pelabelan ‘Diponegoro dan Wanita-Wanita Cantik’. Kenyataannya, istri Diponegoro memang banyak, tapi tak pernah lebih dari 4 dalam satu waktu—itu jauh mending daripada bangsawan sezamannya yang berselir tak terbatas.
Baru-baru ini, mengemuka wacana: Diponegoro mengidap xenofobia atau kebencian tanpa dasar terhadap bangsa asing, termasuk kepada Tionghoa. Pasukan Sang Pangeran disebut pernah membantai orang-orang Tionghoa di Ngawi pada awal Perang Diponegoro.
Faktanya, Diponegoro tidak pernah membenci orang asing termasuk Tionghoa. Dalam Babad Diponegoro, diakui Diponegoro pernah berselingkuh dengan nyonya Tionghoa. Dia sendiri merasa bersalah kepada sang istri.
Kejadian ini pula yang menyebabkan Diponegoro hilang fokus, sehingga kalah dalam pertempuran Gawok (tengok Sang Pangeran dan Janissary Terakhir halaman 444-445).
Fakta lain, Pangeran Ngabehi, penasihat Diponegoro, berdarah keturunan Tionghoa.
Sedangkan fakta yang melatarbelakangi pertempuran di Ngawi pada awal Perang Diponegoro justru dikaburkan media yang mengangkat wacana ini, semata guna memperkuat framing yang dibangun.
Novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir (SPJT) karya Salim A. Fillah, hadir sebagai upaya pelurusan sejarah Pangeran Diponegoro, di antaranya kekeliruan seperti disinggung di atas.
Walau berujud fiksi sejarah, Salim menjamin, penambahan unsur naratif dan imajinatif dalam SPJT tidak mengubah sejarah aslinya—ini dapat diperiksa dari rujukan yang dicantumkan pengarang.
Melalui novel ini, terbaca: Salim tidak mengagung-agungkan sosok Diponegoro, justru berupaya mendudukkan Sang Pangeran sebagaimana mestinya, sesuai rujukan yang valid.