Ulasan Novel Pingkan: Menyelami Kehidupan Mahasiswa Indonesia di Australia

Candra Kartiko | Thomas Utomo
Ulasan Novel Pingkan: Menyelami Kehidupan Mahasiswa Indonesia di Australia
Pingkan; Seperti Daisy di Musim Semi. (Dok. Pribadi/Thomastomo)

Pingkan; Seperti Daisy di Musim Semi adalah penggabungan dua buku dari Sehangat Mentari Musim Semi dan Seperti Daisy di Musim Semi. Buku pertama awalnya berupa kisah berseri di majalah Annida. Lalu diterbitkan Asy Syaamiil, Bandung hingga puluhan kali cetak ulang. Buku kedua berawal dari kisah berseri di majalah Gizone, dibukukan penerbit Indiva Media Kreasi. Isinya memaparkan kisah Pingkan Rahma, gadis Padang yang merantau ke Australia, untuk menuntut ilmu di Murdoch University, Perth, jurusan Fisika.

Dia sempat menjadi model, tapi akhirnya mundur karena menolak difoto topless. Kemudian, Pingkan sempat pula bekerja di sebuah restoran. Dia juga berkenalan dengan nenek, perempuan renta kaya raya yang tinggal tanpa keluarga di rumah megah, hanya ditemani suster. 

Sepeninggal nenek yang malah meninggalkan warisan harta yang demikian banyak bagi gadis Padang itu, Pingkan bersama Reni, sahabatnya, tinggal di rumah warisan Nenek.

Saking megahnya, Pingkan memanfaatkan rumah tersebut sebagai kantor International Muslim Student Association (IMSA).

Lantai bawah rumah yang terdiri dari dapur, dua ruang duduk, ruang makan, dan perpustakaan dipakai untuk kegiatan IMSA. Setengah lantai dua dipakai untuk menyimpan barang pribadi Nenek, kamar Pingkan dan Reni ada di bagian ini.

Sedangkan bagian kanan lantai dua, ada tiga kamar, dipakai sebagai asrama sisters yang membutuhkan shelter.

Dengan peninggalan kekayaan tersebut, jelas perkara keuangan atau kebendaan bukan jadi soal bagi Pingkan, karena lewat uang warisan Nenek, Pingkan di antaranya bisa membantu saudara muslim di Palestina dan ikut membiayai kegiatan IMSA.

Pendek kata, warisan dari Nenek sangat cukup bagi Pingkan untuk “bisa merasakan hidup nyaman; bergelimang harta”. Namun tentu saja ada hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan dengan uang.

Hal-hal inilah yang kemudian menjadi semacam rantai ujian bagi Pingkan. Mulai dari soal Sister Khalda (saudara seiman asal Afganistan) yang kemudian memisahkan diri dari komunitas muslim Australia, malah memilih tinggal serumah dengan Frank, lelaki nonmuslim yang sering menggodanya; koneksi internet di rumah yang digunakan oleh orang tertentu untuk mengakses website-website porno, sehingga setiap kali komputer dinyalakan selalu muncul pop-up iklan pornografi yang terhubung dengan website porno.

Reni (kawan serumah Pingkan) yang melakukan cara-cara di luar nalar guna menurunkan berat badan; kegiatan IMSA yang diintai mata-mata dari Mossad Israel; dan soal pergaulan bebas mahasiswa-mahasiswa Indonesia.

Sebetulnya, kasus-kasus itu berpusar di luar di Pingkan. Namun Pingkan tidak berwatak cuek bebek, masabodoh dengan lingkungan sekitar. Ia peduli, turut merasakan, memikirkan-mencari solusi, dan tak segan-segan mengurunkan tenaga maupun uang.

Dengan watak yang ideal itu, tidak berarti Pingkan lepas dari kekurangan atau kealpaan diri. Bagaimana pun Pingkan adalah gadis yang tengah beranjak menuju dewasa. Tentu ada perubahan-perubahan dalam diri yang mau atau tidak (baik yang berasal dari dirinya sendiri maupun dipengaruhi orang luar) membuat Pingkan harus menghadapinya.

Persoalannya, kepribadian Pingkan belumlah mengendap, masih dalam upaya memantapkan, sehingga persoalan-persoalan pribadi (termasuk juga persoalan sosial) masih ditanggapi dengan cara emosional.

Seperti soal Riza,; lelaki beraut muka rupawan, aktivis dakwah yang rutin mengisi pengajian mahasiswa. Lelaki ini selalu muncul di sekitar Pingkan, seolah-olah menguntitnya.

Tidak cukup sampai di situ, dia juga kerap menyengat Pingkan dengan kalimat-kalimat yang sebetulnya tidak menyakitkan hati, tapi bagi Pingkan amatlah merunyamkan.

Yang jelas, Rizal tertarik pada Pingkan dan ingin menjalin hubungan yang bukan main-main dengan gadis mantan model itu. Rizal sendiri sudah mengantongi izin juga restu dari keluarga Pingkan di Padang sana; dan barangkali oleh sebab itulah Rizal kerap “berkeliaran” di sekitar Pingkan, seakan-akan laron yang sedang mendekati lampu; hendak merasakan cahaya dan panas kebakarannya.

Yang menjengkelkan Pingkan dan pembaca, meskipun disebut sebagai orang yang mengerti agama, tapi kelakuan Rizal terhadap Pingkan tergolong melanggar batas pergaulan yang diperkenankan Islam bagi lelaki-perempuan yang bukan mahram.

Rizal tidak segan-segan mendekati-mengajak ngobrol Pingkan dalam kondisi hanya berduaan. Rizal juga berkenan menjamah atau menyentuh Pingkan.

Celakanya, dalam satu kunjungan terpaksa ke rumah kontrakan Rizal, Pingkan menemukan pigura foto dirinya saat masih menjadi model, tanpa kerudung atau busana yang menutup aurat sebagaimana pantasnya.

Kejengkelan Pingkan dan pembaca terhadap kelakuan Rizal terjawab di episode Kusut Mengurai. Di sinilah dengan lihai Muthmainnah (sang pengarang) menguakkan alasan ketidakengganan Rizal berdua-duaan dengan Pingkan, termasuk menyentuh bagian tubuh Pingkan dan menyimpan foto gadis itu saat belum mengenakan kerudung.

Alasan yang dikuakkan di episode tersebut tidak kurang menjengkelkan, namun juga melegakan, sehingga pembaca pun dapat berkesimpulan, “Oo… ternyata Rizal tidaklah semunafik itu. Justru dia sudah berlaku-berbuat di jalur yang tepat.”

Meski pada akhirnya Pingkan mengetahui alasan yang mendasari perbuatan Rizal, ia tetap merasa diri tidak siap menjadi seorang istri, yang dikatakannya mengerikan.

Lebih jelasnya Pingkan mengatakan, “Satu yang membuat saya nggak suka pernikahan adalah kesewenangan suami melarang-larang. Lalu memakai ayat ayat Qur’an untuk membenarkan sikap itu. Ukuran baik buruk perempuan kemudian tergantung subjektivitas lelaki yang menjadi suaminya.” (Menapak Babak Baru, yang Mana?).

Maimon Herawati menutup buku tebal ini secara open ending. Satu keakhiran yang demokratis, karena menyilakan pembaca melanjutkan sendiri bagaimana yang seharusnya terjadi, sekaligus membuka peluang barangkali buku ini akan dibuatkan sekuel berikutnya.

Sejujurnya, saat membaca buku ini pada bagian-bagian awal, terasa agak menjengkelkan dan 'menyesakkan napas' terutama bagi pembaca yang biasa mengunyah bacaan-bacaan sastrawi dengan sajian kalimat yang lengkap. Pasalnya, gaya bahasa yang digunakan Maimon Herawati dalam buku ini cenderung pendek-pendek, melompat-melompat, dan gaul abis.

Namun di bagian tengah buku, barulah terasa keasyikan dan greget dari kisah ini. Rupa-rupanya, meskipun tiap bab dapat dikatakan berdiri sendiri dan mempunyai cerita yang juga berdiri sendiri, ada seutas benang penghubung antarbab yang tidak tampak, tapi bisa dirasakan kehadiran dan manfaatnya oleh pembaca di ujung buku.

Kesimpulannya, isi buku ini menggambarkan kehidupan seorang mahasiswa Indonesia di tanah rantau, dengan segenap konflik yang tumbuh dari tanah perantauannya maupun yang berasal dari tanah asalnya. Muthmainnah menggambarkan Pingkan sebagai tokoh utama secara sangat manusiawi, komplet dengan lebih-kurang watak dan kelakuannya.

Kualitas yang paling mencolok dari buku ini adalah pertama, penggambaran suasana lingkungan dan kebiasaan masyarakat Australia terasa hidup sekali. Saya tidak tahu, apakah Muthmainnah pernah tinggal di Benua Kanguru ini atau tidak? Yang pasti Muthmainnah tidak gagap melukiskan kehidupan di lingkungan Australia. Deskripsi suasana terasa lancar dan wajar.

Kedua, Pingkan Rahma merupakan penggambaran ideal remaja muslim yang tidak hanya sibuk mengurusi perkara remeh-temeh yang berkaitan dengan dirinya saja, melainkan peduli-mengerti-memahami-mencari solusi bagi persoalan di luar lingkaran dirinya sendiri.

Kendati tergolong bacaan populer, isi buku ini menyajikan kualitas yang mencerahkan dan bertanggung jawab.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak