Ulasan Film Hayya 2: Menyoroti Isu Kesehatan Mental

Candra Kartiko | Thomas Utomo
Ulasan Film Hayya 2: Menyoroti Isu Kesehatan Mental
Film Hayya 2: Hope, Dream, or Reality. (Dok. Pribadi/Thomasutomo)

Film Hayya 2 (2022) adalah sekuel dari Hayya 1 (2019). Keduanya disutradai Jastis Arimba dan diproduksi oleh Warna Pictures. Hadir sebagai produser adalah Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia.

Sekadar info, film Hayya 1 meraih Excellence Award dari Sinematek Indonesia sebagai film dengan nilai kearsipan terbaik tahun 2021.

Masih melanjutkan cerita sebelumnya, film Hayya 2 mengisahkan Hayya (Amna Shahab), gadis cilik asal Palestina yang kabur ke Indonesia dengan bersembunyi di dalam koper Rahmat (Fauzi Baadila), wartawan sekaligus relawan Aman Palestin (film Hayya 1). 

Saat akan dikembalikan ke Palestina, Hayya kembali kabur. Kali ini dengan menumpang mobil pick up yang membawa bantuan kemanusiaan ke perkebunan teh di Kabupaten Bandung. 

Hayya kemudian tersesat di perkebunan stroberi milik pasangan Faisal (Dimas Seto) dan Lia (Dhini Aminarti). 

Kedua pasangan muda tersebut baru saja kehilangan putri semata wayang, bernama Hanna akibat kecelakaan di laut. Lia yang terlampau sedih dengan peristiwa tersebut, selalu menampik fakta bahwa anaknya telah tiada. Dia yakin anaknya masih hidup.

Maka pertemuan Lia dengan Hayya di kebun stroberi, meyakinkannya akan keberadaan Hanna, bahwa anaknya tidak meninggal. Dia mengajak Hayya yang dikira Hanna untuk tinggal di rumahnya.

Faisal yang semula tidak setuju dengan kehadiran Hayya, pelan-pelan luruh setelah mendapati kenyataan betapa bahagia Lia merawat Hayya. Dia pun menerima Hayya, menganggapnya sebagai obat mujarab bagi istri tercinta.

Di tempat lain, Rahmat, Yasna—istrinya (Meyda Zafira), Adhin (Adhin Abdul Hakim), serta pengurus Hubbu Indonesia kebingungan dengan raibnya Hayya. Mereka mencari ke sana-kemari tetapi tak kunjung ketemu.

Sampai kemudian, satu peristiwa piknik, menampar kembali kesadaran Faisal akan penyebab kematian Hanna. Peristiwa yang sama menjerembabkan kembali Lia dalam jurang kegelapan. Sedang Hayya, nyawanya terseret antara hidup-mati.

Dilihat dari segi cerita, Hayya 2 lebih kuat dari Hayya 1. Akting para pemainnya, terutama Dhini Aminarti dan Dimas Seto, juga jauh lebih mumpuni. Amna Shahab selaku tokoh utama, tak kalah menawan, tentu.

Dari segi visual, usaha tim Warna Pictures untuk menggeber keindahan pegunungan Kabupaten Bandung, patut diacungi jempol. Memang pemandangan alami yang disuguhkan kamera, amat memanjakan mata penonton, membikin timbul keinginan untuk mengunjungi dan menghirup kealamian destinasi tersebut.

Tak kalah penting adalah pesan untuk lebih peduli akan kesehatan mental. Kita tahu, soal satu ini, masih kerap dipandang sebelah mata di Indonesia. Perihal kesehatan mental masih kerap dianakharamkan dibandingkan soal kesehatan fisik.

Isu serupa yang masih konsisten digaungkan dalam film ini, sama seperti film sebelumnya, adalah mengenai penderitaan rakyat Palestina atas penjajahan Israel.

Lewat film ini, dapat dipahami kegelisahan para movie maker dalam jajaran Warna Pictures, betapa kejahatan puluhan tahun ini, kapankah diakhiri? Dan mengapakah sering ada pembiaran dari pihak-pihak berkuasa akan penjajahan tersebut? Pantaskah? Lalu apakah yang dapat kita perbuat untuk melawannya? 

Fyi, sebagian keuntungan film Hayya 1 senilai 2.720.000.000 disumbangkan kepada rakyat Palestina melalui delapan lembaga kemanusiaan. Film tersebut disaksikan lebih dari 415.000 penonton. Harapannya, film Hayya 2 dapat mengulang kesuksesan serupa, bahkan lebih baik lagi.

Sekelumit kekurangan film ini, setidaknya dua hal. Pertama, ketika Hayya kabur dari kantor Hubbu Indonesia, mengapa para pencarinya tidak mengecek kamera CCTV? Mengapa mereka malah langsung lari-lari, kemudian bertanya ke sana-kemari? Padahal kantor yang mereka tempati megah dan kentara memiliki fasilitas lengkap, di antaranya kamera CCTV.

Kedua, ada secuil kejanggalan dalam adegan di rumah sakit, tepatnya detail ketika pasangan Rahmat-Yasna dan Faisal-Lia menunggu kepastian nasib Hayya.

Lewat gestur pemain, tampak betul akting suami-istri antara Faisal-Lia amat meyakinkan, sebab di dunia nyata, keduanya memang pasangan. Tapi disandingkan dengan pasangan lain, di dekatnya, yakni pasangan Rahmat-Yasna, kelihatan sekali njomplang-nya. Sedari awal, mereka seperti bukan suami-istri, lebih-lebih akting Yasna yang terlalu berjarak dengan Rahmat, suaminya.

Sebetulnya, untuk satu ini, dapat “dipahami”, jika merujuk latar belakang kedua “pasangan” tersebut. Tetapi, barangkali dapat disiasati sedemikian rupa agar tidak terlalu jauh bedanya.

Terakhir, perlu disampaikan, versi novel dari film ini, berjudul Cahaya di Bawah Cahaya, segera diterbitkan oleh Republika. Ditulis oleh penulis ternama Helvy Tiana Rosa, Benny Arnas, dan Asma Nadia. Sama seperti filmnya, royalti novel ini pun akan didonasikan bagi rakyat Palestina. (Purbalingga, 8 April 2022)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak