Kisah Kepahlawanan dari Daerah Konflik, Ulasan Buku Manusia-Manusia Langit

Hernawan | Thomas Utomo
Kisah Kepahlawanan dari Daerah Konflik, Ulasan Buku Manusia-Manusia Langit
Manusia-Manusia Langit (Dokumentasi pribadi/ Thomas Utomo)

Manusia-Manusia Langit memuat sebelas epik karya Helvy Tiana Rosa. Epik sendiri dapat diartikan sebagai epos atau wiracarita atau kisah kepahlawanan (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Sebelas epik dalam buku ini membentang dengan latar belakang daerah konflik dalam maupun luar negeri, mulai dari Ambon, Kashmir, Palestina, Uni Sovyet, Serbia, Filipina, Myanmar, Chechnya, dan Afganistan.

Sebagaimana tertera dalam halaman sampul belakang, epik dalam buku ini mengusung genre sastra jurnalistik, yakni mengangkat kisah-kisah dari fakta-fakta yang kerap tak terberitakan lantaran ditutup-tutupi media. 

Dalam Kata Pengantar Penulis, Helvy menulis, "Sebelum resmi bergabung dengan Annida, saya sudah sering menulis kisah ini. Mulanya karena saya geregetan dengan berbagai kejadian yang menimpa kaum muslimin di dunia. Terutama fenomena tentang negeri mereka yang dijajah tetapi ketika masyarakatnya bangkit melawan penjajahan dan pembantaian, malah dituduh sebagai teroris. Sementara penjajah durjana justru dianggap sebagai masyarakat yang cinta damai.

"Standar ganda pelaksanaan HAM, berita-berita (termasuk) sejarah yang terdistorsi, yang kian membuat kaum muslimin tersudut dan menderita telah menggugah saya. Saya pikir, seharusnya, atas nama kemanusiaan, juga menggugah siapa pun yang masih mempunyai nurani." (halaman v-vi).

Guna menulis epik-epik ini dan yang lainnya, Helvy kerap berlama-lama mengeram di perpustakaan, menelusuri literatur. Dia juga memanfaatkan jaringan internet untuk mencari berita dari sumber primer. Pun menemui dan banyak bertanya kepada orang atau tokoh yang pernah mengunjungi daerah konflik maupun yang memang berasal dari daerah tersebut.

Dari sebelas epik, sembilan di antaranya mengusung tokoh utama perempuan. Dan tokoh-tokoh perempuan ciptaan Helvy selalu memiliki ciri khas, yakni vitalitas dan daya juang tinggi.

Mereka tidak bertekuk lutut di hadapan kezaliman. Meski serba terbatas, semangat mereka demikian menggelora. Seperti Sjerva (dalam cerpen Kesaksian Sjerva), korban perang Bosnia. Dia diperkosa, kakinya ditembak hingga pincang, ibu-kakak-adik perempuannya dibunuh lalu digantung di langit-langit rumah, ayah-kakak-adik lelakinya digilas tank di depan rumah ibadah. Dia kemudian tinggal bersama Gruvanic, muslimah buta setelah kedua matanya dicongkel penjahat perang.

Ketika Gruvanic dibunuh, mayatnya digantung di langit-langit rumah, Sjerva yang kembali hendak diperkosa, melawan dengan pisau kecil yang dia sembunyikan di balik baju.

Dalam melukiskan epik-epiknya, Helvy menggunakan bahasa yang mengerikan karena memakai frasa darah, tengkorak, tubuh yang pecah, dan sebagaimana. Namun pilihan kata tersebut amat berhasil menghunjam sanubari pembaca, menerbitkan empati dari lubuk hati kepada para korban kebengisan kaum adidaya.

Membaca buku ini adalah upaya menyemai pesan kemanusiaan dalam diri sekaligus mengajak orang-orang lain untuk menyingsingkan lengan baju, membantu saudara di belahan bumi sana yang terus digilas penjajahan serta penindasan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak