Malapetaka Buah Pala, Ulasan Novel Mirah dari Banda

Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Malapetaka Buah Pala, Ulasan Novel Mirah dari Banda
Mirah dari Banda (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Mirah dari Banda adalah novel karya Hanna Rambe yang disajikan secara indah namun isinya memedihkan. Adalah Mira, perempuan asal Jawa yang diangkut penjajah Belanda ke kepulauan Maluku untuk dijadikan budak perkebunan pala. 

Rupanya, gejolak nasib tidak hanya mendamparkan Mirah sebagai budak perkebunan. Kecantikan dan eksotisme yang dimiliki, membuat dia juga diperalat jadi budak seksual alias nyai dari tuan Belanda. 

Dari rahim Mirah, lahir dua gadis Indo: Lili dan Weli. Ketika penjajah Jepang mendarat dan merebut kekuasaan Belanda, tuan Mirah diangkut dan ditawan entah ke mana? Demikian pula anak Mirah.

Kelak, anak Mirah yang dipaksa jadi jugun ianfu, melahirkan bayi perempuan. Dia dinamai Wendy Higgins. 

Sepeninggal anak Mirah, bayi Hendy diambil sebagai anak pungut sepasang suami-istri bangsa Australia. Di kemudian hari, ketika dewasa, Wendy datang ke kepulauan di Indonesia Timur, untuk berlibur. Dia berjumpa Mirah yang menjadi koki dapur temannya.

Keduanya sama sekali tak menyangka kalau ada pertalian darah di antara mereka. Dan memang Hanna Rambe tidak membukakan rahasia tersebut hingga akhir cerita layaknya kisah-kisah lain.

Kesengajaan Hanna Rambe untuk tidak mempertemukan Mirah dan Wendy sebagai orang sedarah, menurut Gerson Poyk, "... membawa kita kepada pesona terhadap perjalanan nasib manusia dalam 'campuran kimia' yang aneh penuh dengan misteri penciptaan."

Lewat novel ini, pembaca disuguhkan sebuah kenyataan pahit, betapa anugerah Tuhan berupa buah pala (yang waktu itu hanya bisa tumbuh di kawasan kepulauan Maluku) dapat berubah menjadi malapetaka akibat keserakahan manusia.

"'... semua itu terjadi karena pala jua adanya. Karena pala maka orang Banda dulu hidup senang. Orang asing dari India, Parsi, Arab, Cina berdatangan, sampai datangnya para pelaut dari Portugal dan Belanda.'

'Orang Belanda serakah, orang Banda terpecah belah. Semua terkecoh oleh kepentingan sendiri. Mereka sibuk berkelahi sampai punah. Orang Banda tak dapat memutuskan, adakah pojon pala sebuah laknat atau berkat bagi mereka.'" (halaman 373).

Membaca novel ini adalah menelusuri diorama sejarah gelap Indonesia berupa tragedi kemanusiaan akibat perang dan perbudakan oleh penjajah Belanda dan Jepang. Pesan yang lantang terbaca, perang dan penjajahan telah menginjak-injak harga diri kemanusiaan serta menorehkan luka juga trauma bagi para korban. Akankah kita mengambil pelajaran daripadanya?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak