F. Aziz Manna, alumnus Tambak Beras Jombang, seorang aktor, mantan ketua teater Gapus Surabaya, aktivis Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) ini, menulis buku kumpulan puisi berjudul Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang.
Buku Antologi Puisi ini terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama Siti Surabaya yang dimulai dengan Indische dan ditutup dengan Montase Kota Mati mengesankan alur bacaan yang bisa dibaca utuh sebagai sebuah urutan-urutan yang saling menyambung. Begitu dengan bagian kedua Kisah Para Pendatang, seperti diceritakan seorang tokoh tunggal dalam lanskap panggung dengan durasi keseharian.
Siti Surabaya
karena aku terlahir di sini dari keluarga seperti ini maka namaku siti, siti jamilah tepatnya, lambang kesuburan dan keindahan, kata orang tuaku, tapi aku tak percaya itu, aku ingin tafsir yang lain, aku tak mau sekadar ayu, aku mau cantik, aku mau seksi, aku mau wah, lebih dari indah, aku juga tak mau kesuburan tanahku dikapling bapakku, ibuku, kakek-nenek-paman-saudara-saudaraku, aku mau tanahku dibebaskan, maka kuganti saja amsal riwayatku: namaku siti, siti surabaya tepatnya; sebuah lahan pesta (hlm. 23).
Indische
perkebunan tua itu menarik mimpiku, pada sebuah cermin buram, di sana harum embun daun teh, manis tebu, dan daun sereh, lalu kutanya, milik siapa? (hlm. 17)
Indische sangat pas sebagai pembuka Siti Surabaya. Puisi ini tepat sekali sebagai prolog jika melihat bagaimana puisi-puisi selanjutnya berbicara. Dari karya-karya yang berbicara tentang perempuan Siti Surabaya jelas memiliki kekuatan lebih, bukan karena ukuran halamannya, namun karena narasi yang ditawarkan memiliki makna lebih luas dari sekedar erotika perempuan dan problematika gender yang melekat.
Puisi Orang-orang Kampung dalam bagian Kisah Para Pendatang apabila dibaca dengan kekiri-kirian dijamin akan memberikan kepuasan tersendiri sebagai puisi protes. Tetapi, ini bukan puisi protes. Ini adalah puisi orang yang tidak sedang memaki-maki.
Orang-orang Kampung
kami tidur dengan impian terpotong , tubuh kami menggigil oleh bunyi sendiri dalam pelukan sprei yang lengket, kerisik daun mangga jadi begitu menakutkan seperti masa lalu yang menghardik, mata kami menutup tapi pikiran kami dibawa lari kenangan, kenyataan yang tidak nyata, kegaiban yang mengada, kami di ambang tidur dan jaga (hlm. 51).
Membaca buku antologi puisi ini tidak bisa hanya dengan sekali duduk. Sebab, diksi yang kadang berloncatan dari kaidah penulisan menyulitkan pembaca untuk mencerna makna yang terselip di dalamnya.