Meneladani Semangat Belajar dan Mengajar dari Buku Ulama-ulama Nusantara

Hikmawan Firdaus | Rozi Rista Aga Zidna
Meneladani Semangat Belajar dan Mengajar dari Buku Ulama-ulama Nusantara
Buku Ulama-Ulama Nusantara yang Mempengaruhi Dunia (Dok. Pribadi/Fathorrozi)

Seorang bijak bestari mengatakan, "Belajar pangkal pandai. Malas pangkal bodoh." Kalam hikmah ini sangat benar. Tidak ada seorang pun yang malas belajar akan menjadi pandai. Begitu pula sebaliknya, orang yang dengan semangat tinggi untuk rajin belajar, tidak akan menjadi bodoh. Dengan belajar, ketidaktahuannya seketika terpecahkan. Kebuntuannya akan menemukan jalan keluar. Dinding kebodohannya bisa menjadi runtuh.

Untuk meningkatkan semangat belajar, kita butuh figur yang bisa kita contoh, serta kita tiru. Mulai bagaimana caranya mereka belajar, proses berguru, dan merawat keilmuannya. Dari itu, dengan membaca buku karya Thoriq Aziz Jayana yang berjudul Ulama-Ulama Nusantara yang Mempengaruhi Dunia ini, kita menjadi terinspirasi untuk meneladani semangat belajar mereka sehingga menjadi ulama yang diakui dunia.

Buku ini memuat sejarah hidup tiga ulama nusantara yang sudah mendunia, yaitu Syekh Junaid al-Batawi, Syekh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Ketiganya merupakan ulama asli nusantara yang telah dinobatkan oleh petinggi tanah Haramain untuk menjadi imam, khatib dan pengajar di Masjidil Haram. Tentu, jalan menuju ke sana tidaklah mudah. Mereka butuh perjuangan serta pengorbanan dalam belajar hingga keilmuannya begitu mumpuni.

Demi mendapatkan sebaris ilmu, mereka harus mengorbankan banyak hal dalam hidupnya. Mulai dari meninggalkan kampung halaman, mematangkan niat, membulatkan tekad, mempersiapkan biaya, mencari guru yang tepat, rela kelaparan, melakukan perjalanan yang jauh, dan lain sebagainya. 

Sebagai pengembara ilmu sejati, Syekh Junaid al-Batawi rela meninggalkan Betawi demi mempelajari ilmu di pusat-pusat studi keislaman. Saat ia berhasil menguasai banyak ilmu, ia tidak pelit mengajarkan ilmunya kepada orang lain, terutama kepada masyarakat Nusantara yang sedang berhaji. Ia mentransfer keilmuannya kepada para santri yang rela meluangkan waktunya untuk menimba ilmu di mejelisnya (halaman 52).

Ilmu yang tidak bermanfaat itu laksana pohon yang tidak berbuah. Ia hanya tumbuh menjulang, sementara orang-orang sekitarnya tidak bisa memetik buah yang dihasilkannya. Begitu pun dengan ilmu. Bagi para ulama, ilmu itu tidak bermanfaat jika tidak diamalkan. Dan cara efektif untuk mengamalkan ilmu ialah dengan cara mengajarkannya kepada orang lain. Mereka mengajar dengan telaten, sabar, dan istikamah. Dengan ulasan buku ini, semoga kita semua bisa meneladani semangat para ulama dalam belajar dan mengajari ilmu.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak