Perjuangan Ibu demi Susu Anak dalam Buku Perempuan yang Berhenti Membaca

Hikmawan Firdaus | Fathorrozi 🖊️
Perjuangan Ibu demi Susu Anak dalam Buku Perempuan yang Berhenti Membaca
Buku Perempuan yang Berhenti Membaca (Langgam Pustaka)

Buku kumpulan cerpen berjudul Perempuan yang Berhenti Membaca ini akan selalu relevan untuk segala zaman, terlebih situasi belakangan ini tengah tinggi angka kekerasan, baik fisik, seksual, maupun psikis, terhadap perempuan dan perdebatan tak kunjung selesai mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Sosok perempuan yang digambarkan di dalam buku ini dari berbagai kelas, tingkat pendidikan dan ekonomi, serta latar dan konflik yang melingkupinya. Sosok seperti Kokom yang gigih dalam cerpen pertama bertajuk Ironi Kereta Api merupakan perempuan yang seringkali kita temui di sekitar tempat tinggal kita.

Bukan hanya sosok karakternya yang demikian dekat, namun konflik yang ia alami juga menjadi konflik yang kita hadapi sehari-hari. Bayangkan saja bagaimana perjuangan Kokom untuk menghidupi keluarganya, sementara suaminya hanya berleha-leha dengan buaian burung piaraannya. Bahkan, si Maman suami Kokom itu, lebih mengutamakan kehidupan burungnya daripada nyawa keluarganya.

Setiap bangun tidur kepala Kokom penuh seperti terdapat segerombolan lebah mengerubungi batok kepala yang tengah dibebani pikiran tagihan listrik, cicilan kompor gas, dan lain sebagainya. Belum lagi nyanyian Bu Endah pemilik warung kelontong yang tiap pagi menagih utang kepada Kokom.

Di antara daftar utang yang dicatat Bu Endah, selain sayur-mayur dan kebutuhan dapur lainnya, tertera juga nama merk rokok tekenal yang iklannya menyebutkan bahwa pria sejati tak pernah ingkar janji. Ya, rokok itu menjadi salah satu candu bagi suaminya, selain memelihara dua jenis burung yang namanya tak dihafal betul oleh Kokom.

Saat Kokom memprotes suaminya untuk tidak memelihara burung, ia malah kena damprat. Maman meyakinkan Kokom bahwa kelak burungnya ini akan laku mahal.

"Kamu ini tidak mengerti investasi ya? Burung ini nanti akan menghasilkan uang banyak, tahu! Dasar wanita tidak gaul."

"Tapi, Kang, hidup kita sudah pas-pasan begini, untuk apa memelihara burung? Belum tentu juga nanti akan ada yang mau beli. Untung kalau masih hidup, kalau keburu mati bagaimana?"

"Ah, wanita diam saja! Tahu beres sajalah!" (Halaman 9).

Sebelum azan Subuh berkumandang, kaki Kokom sudah berkutat dengan tanah becek di pasar desa dekat rumahnya. Memilih pisang nangka yang matang, terigu, minyak goreng, kol, wortel, dan cabai rawit. Barang belanjaannya itu akan Kokom buat bala-bala dan pisang goreng untuk ia jaja di dalam kereta api kelas ekonomi.

Sementara anaknya, Pipit, merengek sambil menangis minta diseduhkan susu setelah melihat iklan susu di koran bekas yang akan ia jadikan bungkus gorengan. Rupanya sudah tiga bulan Pipit tak pernah lagi dibelikan susu. Ya, sejak Maman berhenti bekerja dengan alasan yang tidak masuk akal, Pipit tak lagi memperoleh jatah minum susu.

Usai jualan Kokom sudah siap, ia jajakan jualannya tersebut ke para penumpang di gerbong kereta api. Suasana penjual bisa masuk gerbong ini, tentu dalam beberapa tahun terakhir ini sudah tidak bisa kita temui meski di dalam gerbong kereta api kelas ekonomi. Tapi, saya masih nututi zaman itu, jika tak salah, saat itu saya sedang duduk di bangku sekolah dasar. Maka, saya pun terbawa dan terbayang juga wajah kuyu dan penuh keringat Kokom saat menjajakan jualannya kepada para penumpang.

Tak lama dari itu, Kokom terperanjat dan panik setelah mengetahui petugas pemeriksa karcis masuk ke gerbong di mana Kokom sedang menjaja pisang goreng. Kokom pun main kucing-kucingan bersama petugas tersebut. Maklum, saking keburunya naik ke dalam kereta tadi, Kokom lupa kepada selembar karcis yang telah ia beli sebelumnya.

Cepat-cepat Kokom menyelinap di antara penumpang yang berdiri, menuju ujung gerbong berikutnya. Namun, sandalnya tersangkut pada karung di dekat pintu masuk, Kokom terjerembab, dagangannya pun berhamburan jatuh ke lantai kereta. Susah payah Kokom memunguti pisang goreng dan bala-bala itu.

Petugas semakin mendekat ke arah Kokom dan menanyakan karcis. Namun, dengan cepat Kokom lari ke arah pintu dan melompat. Kepalanya membentur batu di tanah tempat ia jatuh. Hal terakhir yang ia ingat adalah janjinya kepada Pipit untuk membelikan segelas susu sepulang berjualan di kereta. Ah, sungguh memilukan!

Kumpulan cerpen dengan konflik rumah tangga dan sosial yang menyangkut perempuan ini akan tetap relevan dengan kondisi zaman apapun dan kapan pun, sepanjang masa.

Selamat membaca!

Identitas Buku

Judul: Perempuan yang Berhenti Membaca

Penulis: Ratna Ayu Budhiarti

Penerbit: Langgam Pustaka

Cetakan: II, Desember 2020

Tebal: 180 Halaman

ISBN: 978-623-7461-36-4

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak