Percayalah, selalu ada ruang khusus di hati untuk film yang tenang, yang lebih memilih bicara pelan-pelan ketimbang teriak untuk didengar. ‘Love’ atau judul aslinya: ‘Kjærlighet’, besutan penulis dan sutradara asal Norwegia, Dag Johan Haugerud, adalah salah satu film semacam itu.
Film Love yang Perdana tayang di Festival Film Internasional Venesia ke-81 pada September 2024, nggak menawarkan alur penuh ledakan emosi atau konflik dramatis yang dibuat-buat.
Sebaliknya, ‘Love’ mengajak penontonnya duduk tenang, mendengarkan, dan mungkin juga merenung, tentang bagaimana orang dewasa yang kelihatannya sudah tahu banyak hal ternyata masih kebingungan memahami cinta.
Menarik ya? Kalau Sobat Yoursay penasaran dengan kisahnya, sini kepoin lebih lanjut!
Sekilas tentang Film Love
Dalam Film Love, Sutradara Dag Johan Haugerud akan membawa Sobat Yoursay masuk ke kehidupan dua karakter utama: Marianne dan Tor.
Marianne, diperankan Andrea Bræin Hovig, merupakan dokter spesialis kanker yang hidupnya stabil, tapi hatinya resah. Dia mulai mempertimbangkan menjalin hubungan dengan Ole (Thomas Gullestad), yang notabene duda dua anak.
Namun, Marianne tampak ragu, bukan karena Ole buruk, tapi karena Marianne belum siap menghadapi kompleksitas kehidupan keluarga baru.
Di sisi lain, Tor (Tayo Cittadella Jacobsen), si perawat rumah sakit sekaligus kolega Marianne, terlibat hubungan dengan pasien kanker bernama Björn (Lars Jacob Holm). Hubungan mereka nggak mudah. Selain karena kondisi kesehatan Björn, Tor sadar diri, kehadirannya buat sosok yang dicintainya mungkin nggak akan berlangsung lama, atau nggak bakal bisa berkembang seperti yang diharapkan.
Kisahnya bikin galau ya? Sini kepoin buat tahu apa yang membuat film ini menari!
Impresi Selepas Nonton Film Love
Pada dasarnya, sesuatu yang membuatku tertarik dari film ini, nggak cuma premisnya yang beredar, tapi bagaimana sutradara mengeksekusinya.
Dag Johan Haugerud nggak sibuk menciptakan twist dramatis atau memperumit konflik. Justru yang ditonjolkan tuh keraguan-keraguan kecil, percakapan-percakapan sehari-hari yang nyatanya punya dampak besar. Aku merasa seperti menguping obrolan orang-orang nyata yang sedang berjuang dengan definisi cinta versi mereka sendiri.
Misalnya, Marianne berkali-kali terlihat bimbang untuk memulai hubungan. Dia bahkan sempat mencoba berkencan dengan pria yang ternyata sudah menikah. Momen itu sebenarnya sedih, tapi disajikan dengan humor yang lembut.
Tor pun, meski tampak lebih terbuka dan optimis, tetap bergulat dengan batas-batas emosional yang ada antara dirinya dan pasien yang dicintainya.
Aku suka bagaimana Haugerud membiarkan karakter-karakternya berdialog dengan jujur dan nggak terburu-buru. nggak ada klimaks besar, tapi justru dari percakapan itulah emosi muncul. Natural, nggak dibuat-buat.
Aku juga mengapresiasi cara Haugerud menyoroti isu-isu seputar relasi antar generasi dan tekanan sosial yang masih melekat bahkan pada orang dewasa sekalipun.
Bahkan ada subplot yang melibatkan Heidi (Marte Engebrigtsen), teman Marianne yang bekerja di kantor pemerintah kota dan sedang memperjuangkan perayaan demokrasi yang lebih inklusif. Subplot ini ngasih film nuansa politis ringan yang justru memperkaya konteks sosialnya.
Namun tentu saja, karena ini bagian dari trilogi, Haugerud menutupnya dengan semacam ‘titik tiga’ alih-alih tanda titik. Kok bisa? Soalnya ini film ketiga, jadi rasanya ada yang masih kosong sebelum nonton film pertama dan kedua,Nyang berjudul: ‘Sex’ dan ‘Drømmer’.
Okelah kalau begitu, akhir kata, ‘Love’ bukan film untuk semua orang, itu sudah pasti. Karena memang nggak menawarkan keseruan instan.
Namun, jika Sobat Yoursay mau menyelami percakapan dan ngasih ruang buat karakter-karakter yang bertumbuh, film ini akan terasa sangat rewarding. Memang aku nggak akan nonton salam waktu dekat lagi, tapi jelas ini layak ditonton.
Skor: 3/5
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS