Review Novel Sinila: Keindahan Dieng, Tragedi Ngeri, dan Egoisme Manusia

Ayu Nabila | Tika Maya Sari
Review Novel Sinila: Keindahan Dieng, Tragedi Ngeri, dan Egoisme Manusia
Cover Novel Sinila (Elex Media Komputindo)

Tanah para dewa, begitulah kalimat yang disematkan pada sebuah desa di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara yang kini terhapus sejarah. Sebuah cantik di lereng gunung Dieng, dengan tanah yang subur, dan kemakmuran penduduknya, yang lantas ‘terhapus’ begitu saja oleh dahsyatnya alam. Sinila, begitulah orang-orang mengenalnya hingga saat ini, meski kejadian itu berlangsung pada tahun 1979.

Sejarah kelam yang sempat diabadikan dalam sebuah novel berjudul Sinila, yang dibumbui dengan romansa fiksi lewat gradasi diksi. Sekali membaca, kamu bakal tertawa, menangis, hingga termenung akan pesan alam yang tersampaikan disana.

Identitas Novel

Judul: Sinila

Penulis: El Salman Ayashi. RZ

Tebal: 176 halaman

Tahun terbit: 2013

Penerbit: Elex Media Komputindo, Jakarta

Selayang Pandang

Sinila merupakan novel karya El Salman Ayashi. RZ yang mengambil secuplik kisah mengenai tragedi kawah Sinila, Gunung Dieng, di Kabupaten Banjarnegara. Kisah asli yang dipadukan dengan bumbu fiksi, yang menyajikan genre romansa, tragedi, hingga mengeksplor keindahan dataran Dieng dengan kesuburan tanahnya.

Novel Sinila diterbitkan oleh Elex Media Komputindo, Jakarta pada tahun 2013 dengan ketebalan 176 halaman. Covernya sendiri menampilkan keindahan dataran Dieng, dengan sepasang Janma Manusia yang bergandengan tangan. Meski terkesan sederhana, nyatanya novel ini memiliki ‘rasa’ yang kuat, dan ‘emosi’ mendasar yang kurasakan.

Sinopsis Sinila

Sinila mengisahkan seorang pemuda disabilitas bernama Wagino yang tinggal bersama ayahnya. Ibunya sudah meninggal dunia sejak dia kecil. Sehari-hari, mereka bekerja sebagai buruh tani sayur-sayuran kepada seorang saudagar kaya raya.

Dari sini saja, kita akan dikisahi mengenai pesona tanah Dieng, yang gembur, subur, sehingga menghasilkan panen sayur-mayur yang cakep nan melimpah. Udara Dieng yang sejuk bahkan hingga menyentuh titik beku, negeri yang jauh dari hingar bingar kota dan polusi, maupun detail rumah-rumah penduduk digambarkan begitu sederhana.

Hingga suatu hari, Wagino bertemu dengan anak perempuan saudagar tadi, yang bernama Mardiana. Sosoknya yang cantik, lembut, dan sopan berhasil mengguncang hati Wagino. Dia mulai melancarkan modusnya dengan bekerja paling giat, atau mengerjakan tugas apapun demi bisa melihat Mardiana.

Ketika niatnya untuk melamar Mardiana membulat, dia harus hancur berkeping-keping ketika lamarannya ditolak oleh ayah Mardiana. Padahal, kedua insan itu sudah saling menyayangi. Namun, apalah daya tidak mendapat restu.

Bahkan, sudah tersiar kabar bahwa Mardiana akan dinikahkan dengan seorang anak saudagar lain dari desa tetangga. Wagino yang resah, melakukan aksi nekat dengan menculik Mardiana.

Tentu hal ini nggak bisa dibenarkan ya. Apalagi, saat Mardiana pulang, dia sudah dalam keadaan berbadan dua. Tentu saja, mau nggak mau mereka berdua harus dinikahkan setelah menunggu kelahiran si jabang bayi. Walau, sejatinya hubungan mereka masih belum direstui oleh ayah Mardiana.

Novel lantas mengambil beberapa time skip hingga anak yang dikandung Mardiana lahir. Bayi perempuan cantik itu diasuh dengan penuh kasih sayang. Hingga suatu hari, bibi Mardiana yang tinggal di desa sebelah berniat ‘meminjam’ bayi itu demi mengusir kesepian. Maklum saja, anak-anaknya sudah sibuk dengan rumah tangga masing-masing sih.

Begitu si bayi diboyong pulang oleh bibi Mardiana, malam itu terjadi ledakan di kawah Sinila, yang dibarengi dengan gempa bumi, dan segera disusul oleh berhembusnya gas beracun. Para warga yang kadung panik akibat gempa bumi, segera berlarian ke luar rumah yang justru mempertemukan mereka dengan mimpi buruk. Gas beracun yang telah menyebar, segera membunuh para manusia di sana.

Segera, tragedi ini memaksa desa subur nan makmur itu terhapus sejarah. Menyisakan tugu peringatan, dan memori pahit bagi para penyintasnya.

Penilaian Pribadi

Sebagai pembaca, aku sangat salut dengan penulis yang sukses mengeksplor keindahan desa yang dijuluki ‘tanah para dewa’ itu. Baik dari segi penggambaran kesederhanaannya, hingga kejadian tragedi itu yang asli bikin merinding. Aku nggak tahu apakah penulis adalah salah satu ‘penyintas’ atau apa, tetapi kalimat-kalimatnya beneran bikin imajinasiku traveling kesana.

Sedangkan untuk alur utama mengenai kisah Wagino-Mardiana, harus kuakui aku kurang sreg ya. Bukan bermaksud rasis karena Wagino dikisahkan mengidap disabilitas dan berasal dari keluarga kurang mampu, melainkan pada tindakan nekatnya. Aku betul-betul nggak membenarkan hal tersebut. Apalagi novel mengambil latar tahun 70-an, yang mana hal seperti itu sangat tabu bahkan ditentang masyarakat.

Meski berlandaskan cinta atau apalah itu, tindakan Wagino boleh dikata goblok sih. Dia egois, dan maaf-maaf saja nggak ngerti etika sosial. Apalagi, dia seorang laki-laki ya. Namun, kalau harus dibilang siapa yang salah, tentu baik Wagino dan Mardiana sama-sama salah. 

Wagino harusnya nggak menculik Mardiana, dan perempuan itu harusnya nggak ‘sukarela’ pergi. Sebab, ada selentingan bahwa Mardiana memang hooh-hooh saja saat dibawa pergi.

Bagiku sendiri, kisah cinta mereka agak ‘sampah’ karena dikotori oleh kelakuan Wagino. Menurutku, cukup Wagino mencintai Mardiana dalam diam, meski tanpa memilikinya adalah jalan ninja seorang pejantan tangguh. Aku berbicara demikian dari sudut pandangku sebagai perempuan, dan karena sering ngobrolin hal-hal tentang pandangan laki-laki terhadap perempuan bareng bapak.

Kata bapakku, laki-laki yang serius nggak akan mau menyentuh perempuan sebelum akad sah, alias melalui pernikahan. Dan, kupikir itu masuk akal juga, walau pasti ada banyak pernyataan yang pro dan kontra di luar sana.

Sedangkan untuk keseluruhan novel, aku tetap mengapresiasi penggambaran lanskap dataran Dieng, maupun tragedi yang berlangsung. Seolah menegaskan bahwa Wangsa Manungsa hanyalah titik kecil yang nggak berdaya, kalau alam sudah berbicara.

Aku juga terhenyak oleh eksekusi sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga yang memberikan jumpscare plot twist cakep. Bahkan, novel ini juga menampilkan beberapa istilah berbahasa lokal yang keren abis.

After all, aku memberikan nilai 8 dari 10. So, kamu berminat membaca?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak