Review Film Red Sonja: Petualangan Savage yang Liar!

Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Review Film Red Sonja: Petualangan Savage yang Liar!
Poster film Red Sonja (IMDb)

Coba bayangin kamu lagi craving film action fantasi ala 80-an, yang penuh pedang berkilau, monster aneh, dan heroine bad-ass yang gak kenal takut. Nah, Red Sonja versi 2025 ini datang pas banget buat nge-hit nostalgia itu, tapi dengan twist modern yang bikin aku mikir, "Ini keren atau cuma gimmick doang ya?"

Oh iya, film ini tayang di bioskop Indonesia mulai 12 September 2025. Kamu bisa langsung cus ke XXI atau CGV buat ngerasain vibe sword-and-sorcery-nya. Well, siap-siap ya ulasan ini bakal panjang. Tapi santai aja, aku janji gak akan bikin kamu bosen kok. Monggo!

Oke, dulu-dulu, Red Sonja tuh karakter ikonik dari komik Marvel, lahir dari imajinasi Robert E. Howard (bapaknya Conan the Barbarian) yang diadaptasi Roy Thomas dan Barry Windsor-Smith tahun 1973.

Dia perempuan Hyrkanian yang trauma berat gara-gara desanya dibantai, terus sumpah setia: gak bakal kalah dari laki-laki mana pun sampai ada yang ngalahin dia dalam duel fair.

Versi film 1985-nya bareng Brigitte Nielsen dan Arnold Schwarzenegger? Cult classic yang cheesy abis, tapi fun! Nah, reboot ini disutradarai M.J. Bassett (yang pernah bikin Solomon Kane), ditulis Tasha Huo, dan diproduksi Millennium Films dengan budget sekitar $17 juta – gak gede-gede amat, tapi ambisinya sky-high.

Ceritanya? Mulai dari Sonja kecil yang desanya dihancurkan barbar, desa dibakar, keluarga dibantai. Flash forward, Sonja dewasa (Matilda Lutz) jadi pemburu soliter di hutan lebat, bonding mesra sama kudanya – ya, ada scene dia mandi bareng kuda yang bikin aku geleng-geleng, "Ini fantasi apa romcom alam liar?"

Terus, dia ditangkap pasukan Kaisar Dragan (Robert Sheehan), si penjahat gila yang pengin menguasai sihir gelap buat mutasiin makhluk hidup jadi monster hybrid.

Sonja dipaksa jadi gladiator di arena berdarah-darah, lengkap dengan chainmail bikini ikonik yang dibahas ala meta-joke: "Ini lindungin apa? Crowd doang yang suka!" Dari situ, dia bangun aliansi sama tahanan lain, termasuk sahabat setia Annisia (Wallis Day) yang misterius, dan lawan Dark Annisia (Rhona Mitra, fierce banget!).

Plotnya campur Gladiator, Conan, plus sentuhan ekologi – Dragan ngerusak alam, Sonja jadi eco-warrior yang balas dendam. Durasi 1 jam 50 menit, pacing-nya lumayan kenceng di awal sih, tapi kadang flashback-nya kebanyakan, bikin cerita agak lompat-lompat.

Review Film Red Sonja

Salah satu adegan di film Red Sonja (IMDb)
Salah satu adegan di film Red Sonja (IMDb)

Performa aktornya? Matilda Lutz sebagai Sonja adalah highlight utama. Dia gak segede Nielsen, lebih ke pixie warrior yang lincah dan emosional – bayangin Arya Stark campur Lara Croft, tapi dengan rambut merah panjang yang bikin iri.

Lutz bener-bener commit, terutama di scene aksi: dia nge-roll, nge-dodge, dan nge-slash pedang dengan convincing, meski kadang keliatan kurang berotot buat angkat broadsword gede.

Robert Sheehan sebagai Dragan? Spot on! Dia villain yang charming tapi psycho, mirip Joker versi fantasi, bikin aku benci tapi pengin liat lebih.

Wallis Day oke sebagai sidekick, tapi karakter Annisia-nya underutilized, sayang banget. Rhona Mitra sebagai Dark Annisia? Mantap jiwa, duel pedangnya sama Sonja di act 1 bikin adrenalinku naik – darah berceceran, gak main-main!

Sisanya, cast pendukung seperti Martyn Ford (si raksasa) dan Michael Bisping (mantan UFC) menambah flavor brutal, tapi gak semua bisa shine gara-gara script yang kadang flat.

Nah, bicara teknis, ini yang bikin filmnya bittersweet. Action-nya mostly solid, terutama finale di hutan terbakar dengan guerrilla warfare – slo-mo explosion, panah dan pedang clash yang bloody.

Bassett pinter pakai practical effects buat monster hybrid (manusia-ngeri-ngeri sedap), gak full CGI yang murahan. Tapi, ya ampun, CGI sisanya? Kadang keliatan seperti game PS2 era 2005, terutama castle dan landscape lebar.

Lokasi syuting di Bulgaria bantu kasih epic scale, tapi budget ketat bikin beberapa scene keliatan cheap. Skor musiknya forgettable, gak ada yang nempel seperti Basil Poledouris di Conan.

Script-nya punya momen wit cerdas, seperti joke bikini tadi, tapi overall clunky – tema feminis dan anti-kolonial (Dragan sebagai penjajah) keren, tapi disampaikan kurang halus, bikin aku ngerasa lagi nonton TED Talk di tengah battle.

Secara keseluruhan, Red Sonja ini guilty pleasure yang solid buat fans genre. Rating dari aku? 6.5/10. Bukan masterpiece sih, tapi lebih baik dari ekspektasi low-budget.

Kalau kamu suka Xena atau Wonder Woman versi gritty, ini bakal kamu nikmatin – terutama Lutz yang bikin Sonja fresh, gak cuma fan service. Tapi kalau kamu expect epic ala Lord of the Rings, mending skip, soalnya dull di tengah dan pacing kadang kurang greget.

Untuk di Indonesia sendiri, ini pas banget buat date night atau nongkrong bareng temen. Dan kamu bisa pesan popcorn gede, berada di ruangan  AC yang dingin, dan heroine yang empowering. Kalau kamu baca komiknya, film ini adaptasi longgar tapi hormatin esensi: Sonja bukan cuma seksi, tapi survivor yang penuh dendam.

Minusnya? Endingnya agak predictable, dan gak ada post-credit scene buat sequel. Pokoknya, jangan lewatkan tayang perdana mulai tanggal 12 September ini – buruan beli tiket sebelum digeser film lain!

Kalau kamu udah nonton, spill dong opinimu di komentar. Worth it? Buat penggemar fantasi, yes. Buat yang biasa aja, maybe next time. Stay savage, ya Sobat Yoursay!

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak