Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sam Edy Yuswanto
Buku "Celia dan Gelas-Gelas di Kepalanya" (Dokumentasi pribadi/Sam Edy)

Harga diri manusia terletak pada kejujurannya. Itulah salah satu pesan penting yang terselip dalam cerpen berjudul Sepasang Mata Terakhir di Negeri Ini. Cerpen ini terangkum dalam buku kumpulan cerpen berjudul Celia dan Gelas-Gelas di Kepalanya yang ditulis oleh para penulis yang berbeda.

Cerpen Sepasang Mata Terakhir di Negeri Ini yang merupakan buah karya Frida Kurniawan menuturkan kelakukan para pejabat yang begitu menyebalkan dan menyengsarakan rakyat. Jabatannya memang “wakil rakyat” tapi anehnya tak mewakili suara rakyat mayoritas. Sebab banyak kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat. 

Terkadang (atau bahkan sering) kejujuran dalam diri seseorang sirna bila telah menjadi pejabat atau anggota dewan. Inilah mengapa ada sebuah ungkapan menarik bahwa harga diri manusia itu terletak pada kejujurannya. Bila seseorang tak lagi bisa berkata dan berlaku jujur, maka harga dirinya telah jatuh sejatuh-jatuhnya. 

Kelakuan sebagian pejabat yang menyimpang dan memalukan disindir keras dalam cerpen tersebut. Misalnya, ketika seorang pejabat kepergok sedang menonton video film porno saat sidang, atau ketika adu mulut dan berakhir dengan mengamuk saat sidang berlangsung. Berikut ini saya kutip bagian paragrafnya:

Suatu waktu, suaramu bernada allegretto dengan aksen brioso ketika kau menceritakan kelakuan rekan satu fraksimu yang tertangkap saat sidang sedang menonton film porno. Lalu, katamu ada dua orang dari fraksi berseberangan, yang belakangan kau bilang menjunjung bendera partai yang berbeda, bersitegang. Adu mulut itu berujung amukan hingga cangkir-cangkir beling dari atas meja sidang pecah berdenting.

Hukum tebang-pilih yang ditetapkan oleh para penegak hukum yang selama ini begitu nyata terpampang di depan mata, juga disindir dalam cerpen tersebut. Berikut ini petikan paragrafnya: 

Masih kental larutan ingatan yang kau celupkan dalam bejana otakku beberapa waktu lalu, melalui tayangan berita yang menjelanak semerbak dari kotak televisi di depan sana. Seorang janda tua ditahan polisi berkat tuduhan mencuri gelondongan kayu. Seorang ayah dipenjara karena anak dan istrinya meninggal di boncengan motornya akibat kecelakaan tak terelakkan, dengan gugatan lalai menjaga keamanan. Seorang ibu dua anak dari Filipina tertangkap membawa koper berisi narkoba. Hukuman mati tetap dihadiahkan padanya, padahal ia tak tahu apa-apa. Sementara satu per satu riwayat korupsi pejabat terbuka, petinggi lembaga pemberantasnya malah dipenjara.

Kisah tentang kelakuan para pejabat yang dibeberkan dalam cerpen Sepasang Mata Terakhir di Negeri Ini menarik disimak dan direnungi pesan positif di dalamnya. Tentu masih banyak cerpen lain yang juga layak dibaca dalam buku kumpulan cerpen terbitan Diva Press tahun 2016 ini.

Sam Edy Yuswanto