Kau takkan tahu rasanya jadi naga atau burung funiks. Kau takkan tahu rasanya hidup sebagai mitos dan terbang di langit kisah-kisah yang super mendebarkan. Kau juga tidak akan tahu rasanya jadi lampu jalan yang menyelamatkan seorang perempuan dari laki-laki urakan atau pencopet tengik.
Aku harus katakan ini kepadamu walaupun semuanya agak menyakitkan. Aku ingin kau bangun dari tidurmu yang panjang itu, bahkan sebelum pangeran mencium bibirmu dengan bisikan paling aneh, seperti bicara soal cinta, cinta, cinta yang basi. Aku ingin kue keju dengan taburan meses warna-warni untuk hari ulang tahunku nanti. Kuharap kau mau membuatkannya untukku.
Tiga hari setelah Cherry jatuh dari balkon lantai empat, dirawat di rumah sakit, dan dinyatakan koma, tidak pasti kapan akan membuka matanya, aku akhirnya membaca lagi pesan yang membuatku hampir tidak bisa tidur dalam tiga harian ini. Hanya bisa beberapa menit, itu juga setelah ibuku memaksa. “Kau harus tidur. Ibu tidak ingin kau sekarat seperti Cherry.”
Aku sedikit heran mengapa aku masih memanggilnya Ibu. Dengan semua kalimat-kalimat kasarnya, ia lebih pantas disebut sebagai orang gila yang terperangkap di dalam tubuh wanita karier yang cantik dan gemar berpakaian terbuka. Tapi, itu tidak penting sekarang. Tidak ada yang lebih penting selain kenyataan bahwa Cherry berniat bunuh diri. Dan inilah pesan yang dikirimkannya sesaat sebelum ia melakukan itu:
Aku pasti sudah mati sekarang, dan itu bukan salahmu atau salah siapa-siapa. Ini murni keinginanku sendiri. Aku sudah lama sekali berpikir soal akhir yang kurencanakan dengan matang. Aku harap kau tidak merasa bersalah. Sekali lagi, ini bukan salahmu atau salah siapa-siapa. Ini murni keinginanku sendiri.
Beberapa pertanyaan mendadak muncul setelah aku mencermati pesan Cherry. Pertama, ia bilang itu bukan salahku. Kenapa ia harus meyakinkanku? Apakah ia tahu bahwa aku akan menyalahkan diriku atas apa yang telah Cherry lakukan? Dari mana ia tahu?
Lalu, Cherry bilang, ini murni keinginannya sendiri. Keinginannya sendiri?
Pening memikirkan semuanya. Aku berteman dengannya baru tiga bulan. Kami menjadi cukup dekat karena sama-sama berasal dari keluarga yang tidak utuh. Ibu Cherry pergi meninggalkannya entah ke mana. Sedangkan aku, memang tidak punya ayah. Ibu yang bilang, dan aku terlalu sibuk sehingga tak punya waktu untuk mencari tahu soal siapa ayahku. Sebenarnya, akan sangat rumit jika dirincikan. Namun, langsung saja pada intinya, bahwa kami ini, sama-sama anak yang lahir di keluarga agak berantakan. Aku tidak tahu bahasa yang lebih lembut daripada itu.
Walaupun tampak berusaha ditutupi, dan sudah kuceritakan pula soal pesannya kepadaku, pihak kampus dan teman-teman kami menginginkan adanya penyelidikan yang lebih serius. Maka, kepolisian pun ikut andil. Mereka mencari tahu tentang apakah Cherry benar-benar berkeinginan untuk bunuh diri atau bukan, sembari menunggu gadis itu sadar dari komanya.
Ayahnya Cherry, orang-orang di lokasi kejadian, dan aku yang menerima pesan, sudah dimintai keterangan. Aku mengatakan segala yang bisa kukatakan. Bahkan saat polisi bertanya tentang apa yang aku tidak tahu, aku sangat ingin menjawabnya, sampai-sampai aku selalu meminta waktu sebentar untuk mengingat kiranya apakah aku tahu apa jawabannya. Karena ... meskipun isi pesan itu sangat jelas, aku tetap tidak bisa seratus persen yakin kalau upaya bunuh diri Cherry adalah murni keinginannya sendiri. Hanya, aku belum bisa membuktikannya.
Seminggu yang lalu, aku masih bertemu dengan Cherry. Kami membicarakan mengenai novel fantasi terbaru dari penulis favorit kami yang akan segera terbit. Novel itu katanya tentang naga dan burung funiks, tentang lampu jalan yang diberi nyawa, dan masih banyak lagi yang lainnya. Cherry bahkan menyinggung soal hari ulang tahunku pada tanggal 30 Desember nanti. Ia tampak ceria. Namun, mengapa? Apakah aku sedemikian bodoh sehingga tak bisa melihat tanda-tandanya? Kalau benar ia memang sudah berencana mengakhiri hidup dalam waktu dekat pada saat itu.
Satu-satunya yang tentu saja harus kucurigai adalah Johan, lelaki yang pernah disukai oleh Cherry, tetapi mereka tidak pacaran. Aku berasumsi bahwa Johan sudah mempermainkan Cherry. Namun, terlalu dini memang untuk berpikir demikian. Jadi, aku akan mencari tahu perlahan-lahan.
Sayangnya, Johan sangat kooperatif. Maksudku, ia benar-benar bersih. Tidak ada celah sedikit pun bagiku untuk melayangkan tuduhan macam-macam.
“Kami berteman baik. Ia memang pernah berkata suka padaku, tetapi tidak ada yang bisa kulakukan karena aku sedang fokus belajar. Sulit bagiku untuk menyatukan percintaan dan studi. Cherry mengerti itu. Kami berteman akhirnya. Aku juga sangat kaget mendengar berita itu. Tapi, kedatanganmu ke sini bukan karena curiga padaku, kan?”
Orang pintar seperti Johan, nalarnya jangan ditanya. Ia rupanya sepeka itu.
“Tidak. Aku hanya ingin memastikan sesuatu.”
“Sepertinya, kau salah. Seharusnya, kau mencari tahu hal lain. Ada yang seharusnya lebih kau curigai daripada aku.”
“Siapa?” tanyaku penasaran.
Johan mendekat, lalu setengah berbisik, “Ayahnya. Ia terlihat aneh. Aku pernah bertemu dengannya dan ia sepertinya benci siapa pun yang dekat dengan Cherry.”
Aku tidak bisa memikirkan apa pun. Tidak ada yang terlintas dari perkataan Johan. Ayah Cherry? Cherry selalu membicarakan bahwa sang ayah adalah ayah terbaik dan paling ia sayangi. Walaupun memang ayahnya itu agak tidak suka kepadaku, alasannya masuk akal.
Aku pernah mengajak Cherry bermain sampai pukul sepuluh malam. Kami tidak melakukan hal-hal aneh, hanya baca buku di kamarku sambil mendengarkan playlist alunan saksofon dari Anthony Braxton. Namun, ayahnya menjadi sedikit marah pada saat itu dan memperingatkanku. “Jangan membuat Cherry membaca buku-buku sepanjang waktu. Ia juga harus belajar,” katanya.
Aku rasa, itu wajar. Ketakutan seorang ayah karena anaknya lupa belajar, itu bukan hal yang patut dicurigai.
Namun, dalam hal ini, segala sesuatu bisa dijadikan kemungkinan. Maka dari itu, dengan keberanian yang kudapat dari keinginan untuk membuktikan bahwa ucapan Johan adalah salah, aku ke rumah Cherry. Aku tahu ayahnya sedang ada di sana karena kudengar bibinya Cherry yang sedang jaga di rumah sakit. Aku akan berpura-pura mengambil buku yang Cherry pinjam. Aku hanya ingin memeriksa kamar Cherry, siapa tahu aku menemukan petunjuk.
***
Ternyata, tidak sulit untuk masuk ke rumah Cherry. Sudah kuduga, ayahnya Cherry tidak ada masalah. Tapi, itu yang membuatku semakin pusing. Apakah memang Cherry benar-benar berniat untuk bunuh diri tanpa ada pengaruh dari siapa pun?
“Bukunya pasti ada di kamar. Ambil saja, tapi jangan lama-lama. Saya akan ke tempat kerja sebentar lagi sebelum ke rumah sakit untuk menemani Cherry.”
“Baik, Om.”
Inilah kesempatanku.
Kamar Cherry beraroma pir. Pengharum ruangan itu, ia yang memilihnya sendiri. Aku menemaninya saat membeli beberapa barang, termasuk buku catatan sekitar dua minggu lalu. Aku tidak begitu ingat. Ia bilang butuh suasana tenang dan ingin mencoba kebiasaan baru. Menulis jurnal harian.
Aneh, bukan? Jika Cherry menginginkan kematian setelah segala yang ia persiapkan untuk mencoba menikmati hidup? Tidak-tidak, entahlah. Aku tak yakin.
Aku mencari ke bagian buku-buku, mencoba menemukan catatan hariannya. Mungkin saja ia sudah mulai menulis? Jika iya, pasti bisa saja ada petunjuk di sana.
Melihat ke sekitar, setelah tak menemukan barang yang cukup berarti, aku tertarik ke sudut lain. Lemari kecil yang hampir roboh. Bagian bawahnya dihalangi oleh dus-dus berisi barang-barang rusak. Aku segera menyingkirkan semua yang menghalangi dan mendapati tidak ada debu di laci paling bawah lemari itu. Ini adalah tanda bahwa Cherry sering membukanya.
Secepat yang aku bisa, aku membuka laci itu. Aku sedikit gemetar ketika tahu apa isinya. Tidak hanya satu atau dua, tetapi ada beberapa buku catatan harian. Aku mengambil yang paling atas, yang paling baru.
Tepat pada saat itu, aku mendengar suara pintu terbuka.
“Sudah?” tanya Om Darma singkat. Aku mengangguk dan menunjukkan sembarang buku yang sedetik lalu kuambil dari meja Cherry, sementara buku catatan hariannya kusembunyikan di balik punggung.
Aku kemudian menyelipkannya ke buku yang kuambil dan berpamitan kepada Om Darma seraya mendoakan kesembuhan Cherry. Kuakui, aku terlalu nekat melakukan semuanya sendiri. Tapi jika ini bisa menyelamatkan Cherry, aku pastikan bahwa semuanya cukup sepadan.
Di perjalanan menuju pulang ke rumah, di dalam kendaraan yang kupesan secara online, aku membuka-buka buku catatan harian Cherry dan menemukan kalimat-kalimat mengejutkan yang ia tulis tentang ayahnya. Tepat pada saat itu, ponselku berdering.
“Iya, Bu?”
“Datanglah ke rumah sakit. Ini soal Cherry.”
Aku segera menyuruh sopir untuk mengubah tujuan. Aku benar-benar ingin secepatnya sampai ke rumah sakit. Aku ingin mengatakan kalimat-kalimat yang belum pernah kukatakan, cerita-cerita yang belum pernah kuceritakan kepadanya. Jika bisa, jika sempat, jika masih ada waktu, aku ingin menyampaikan segala yang bisa kusampaikan. Mengingat salah satu tulisan di buku harian Cherry, aku merasa ingin menangis.
Ayahku bilang, jika aku tidak dilahirkan ke dunia ini, mungkin Ibu masih bersamanya. Ia marah, tapi aku kasihan kepadanya. Ia selalu minta maaf dan meyakinkanku bahwa, jika aku tidak ada di dunia ini, dunia ini akan jadi lebih baik. Aku ingin hidup, tapi ayahku, satu-satunya keluarga yang kupunya, tidak ingin aku ada.
Mobil berhenti. Aku hampir tidak membayar ongkos karena terburu-buru. Saat menyusuri lorong rumah sakit, hanya ada satu kalimat yang ada di dalam pikiranku. Tidak, ini lebih dari sekadar kalimat biasa.
Aku berjanji kepada diriku sendiri, akan berusaha keras untuk membuktikan bahwa apa yang ayah Cherry katakan adalah kesalahan besar.