Jika Matanya Menyala

M. Reza Sulaiman | dede dermawan
Jika Matanya Menyala
ilustrasi rumah berhantu, rumah angker. (Shutterstock)

Duka Nino belum hilang. Ayahnya baru saja meninggal karena sakit, meninggalkan dirinya dan ibunya. Tak sampai di situ, kemalangan lain datang; harta keluarganya habis untuk membiayai rumah sakit ayahnya hingga mereka harus menjual rumah. Semuanya terasa berat dan menyakitkan. Terpaksa, mereka mengungsi ke rumah pamannya.

Sebuah tempat yang jauh. Mereka berangkat dengan truk pindahan sewaan bersama semua barang-barang berharga mereka. Karena jalanan begitu rumit melewati gang demi gang, ibunya sempat berhenti di jalan untuk bertanya alamat pamannya. Ibunya menyerahkan selembar kertas berisi alamat paman kepada seorang pedagang bakso di pinggir jalan.

Orang itu langsung kaget membaca alamat tersebut. Terlihat ia terdiam seketika tanpa berkata apa-apa. Keraguan langsung terlihat dari raut wajah pedagang bakso itu. Ia seolah menahan sesuatu yang tak boleh dikatakan.

"Pak, saya saudara pemilik rumah. Mungkin Bapak kenal," kata ibu Nino dengan nada sopan.

Pedagang itu lalu menunjuk ke sebuah arah dengan ragu-ragu. "Di sana, Bu, tempatnya. Hati-hati, Bu. Katanya rumah itu penunggunya seram. Bukannya istri yang punya juga hilang di situ? Sampai sekarang belum ketemu, ih seram banget," seru pedagang dengan nada ketakutan.

"Ya sudah, terima kasih, Pak," kata ibu Nino dengan ekspresi khawatir.

Ada-ada saja gosip di masyarakat. Batin Nino penuh kekecewaan. Ia merasa pamannya itu orang yang sangat baik karena telah mengizinkan keluarga jauh menginap di rumahnya. Ia pernah mendengar kata pamannya bahwa istrinyalah yang kabur entah ke mana.

Tidak berapa lama, terlihat rumah paman Nino yang sedang direnovasi. Rumah tersebut terlihat sangat besar dan luas, tetapi beberapa bagiannya sangat tua. Terlihat proses renovasinya sedang berjalan; para kuli bangunan berlalu-lalang dengan peralatan dan bahan bangunan.

Bukan hanya tua, melainkan rumah itu benar-benar terasa memiliki aura aneh yang tak tergambarkan. Sangat janggal. Nino yang menatap rumah itu dari jauh langsung memiliki perasaan tidak enak. Ia bahkan sempat merasa merinding. Sekelebat terlihat mata menyala di salah satu jendelanya. Hanya ilusi, bisiknya dalam hati mencoba menenangkan diri.

Sampai di sana, mereka disambut pamannya yang tampak memperhatikan pekerjaan kuli yang berlalu-lalang. Tanpa basa-basi, pamannya menyuruh mereka segera masuk ke kamar. Kamar Nino dan ibunya berdampingan.

Meskipun sangat lelah, Nino segera mengeluarkan barang-barangnya. Ia mencari sebuah benda yang sangat penting. Ia membongkar kopernya dengan berantakan sampai menemukan benda dengan bingkai hitam. Buru-buru Nino memajang lukisan mendiang ayahnya bersama ibunya. Ia langsung merasa rindu.

Namun, ada yang cukup aneh, mata di lukisan itu seolah menyala. Bola matanya seolah bergerak dengan gerakan aneh. Senyum yang disunggingkan lukisan itu jadi terlihat sangat menyeramkan. Ia menatap mata lukisan itu dalam-dalam. Mulut lukisan itu seolah menggumamkan sesuatu yang membuat tubuh Nino tiba-tiba gemetar dan merinding. Latar belakang lukisan berubah menjadi merah, kemudian makin gelap.

Lukisan seolah melelehkan tinta darah yang mengalir deras membasahi lantai. Nino kaget dan kebingungan. Sosok dalam lukisan mulai tidak jelas parasnya, rambutnya makin kacau, dan wajah lukisan itu makin pucat.

Bulu kuduk Nino makin merinding. Perlahan-lahan, ia tersungkur dan merasakan ketakutan yang tak terkatakan. Badannya makin gemetar dan wajahnya makin pucat. Sampai akhirnya, tubuhnya makin lemas dan kesadarannya makin memudar. Ia akhirnya pingsan. Saat bangun, paman dan ibunya muncul langsung di hadapannya ketika matanya baru terbuka.

"Kenapa kamu tiba-tiba pingsan?" tanya ibu Nino dengan wajah khawatir.

"Ada hantu di lukisan Ayah, ruangnya penuh darah," seru Nino dengan wajah ketakutan.

"Omong kosong, kamu kebanyakan nonton film horor sampai berhalusinasi. Jangan pajang apa pun di dinding ini. Ini dinding baru dan agak rapuh," kata paman Nino dengan nada ragu bercampur marah. Ia buru-buru menurunkan lukisan itu dan menaruhnya di sudut ruangan.

Esoknya, Nino ingin memajang lagi lukisan itu di dinding yang berbeda karena mendapat larangan dari pamannya. Ia agak sedikit takut saat mencoba memasang lukisan itu di dinding sebelah kiri. Ia menunggu beberapa saat, ternyata tidak terjadi apa-apa sama sekali. Ia berpikir kejadian kemarin hanya halusinasi saja. Mungkin karena lelah.

Beberapa hari berlalu, kamar yang kacau menyambut Nino yang baru pulang dari sekolah. Tubuhnya sangat lelah. Tidak sengaja ia menginjak pulpen yang berserakan di lantai. Karena terkena bagian tajam, ia kaget dan melompat ke belakang. Tubuhnya tak sengaja terbentur keras ke arah dinding sampai membuatnya pingsan.

Matanya tiba-tiba tertutup dan menjadi gelap seketika. Ia merasakan seolah berpindah dimensi dengan cahaya remang-remang tidak jelas, namun masih dalam ruangannya. Ia kebingungan akan apa yang terjadi dengan tubuhnya yang tidak bisa digerakkan.

Tubuhnya yang menempel di dinding merasakan sebuah gerakan. Terasa seperti getaran kecil. Muncul beberapa lubang menganga di sudut lain dinding. Tiba-tiba tangan-tangan pucat menjulur dari dinding, menggenggam tubuhnya.

Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya karena ketakutan, tetapi tidak ada suara yang keluar sedikit pun. Seolah bisu. Tiba-tiba getaran lain muncul dengan suara keras, dinding retak dan muncul lubang yang lebih besar dan gelap.

Menyembul secara tiba-tiba kepala perempuan dengan wajah pucat pasi dan mata merah. Nino mencoba berteriak, tetapi lagi-lagi mulutnya hanya menganga tanpa suara. Ia ingin menoleh ke arah berbeda, tetapi kepalanya seolah tertahan sesuatu. Ia terus menatap wajah menyeramkan wanita di dinding itu. Matanya terlihat seolah menyala.

Ekspresi hantu wanita itu berubah menjadi sedih. Wanita itu menangis, tetapi dengan tangisan darah. Mulut wanita itu mulai menggumam, suaranya tidak terdengar, namun secara bertahap makin membesar.

"Tolong saya, tolong saya, tolong saya," kata hantu wanita itu terus berulang.

Nino tiba-tiba merasakan perasaan yang sangat aneh. Ia seolah mengenali suara wanita itu. Belum lagi perasaan takut itu juga berubah menjadi perasaan sedih. Tangisan itu terasa makin pilu dan paras di depannya seolah dikenalinya.

Tiba-tiba semua gelap dan berganti ke dunia nyata, di mana ibu dan pamannya kembali membangunkannya dari pingsan. Ibunya terlihat sedih dan ingin membawanya ke rumah sakit. Namun, Nino berkata ia tidak apa-apa. Dalam hati, Nino merasa harus berada di rumah. Setelahnya, ibu dan pamannya keluar membiarkan Nino beristirahat.

Nino merasa ada yang mengganjal. Ia merenung beberapa lama menatap dinding yang sempat ditaruhnya lukisan. Ia menyentuhnya perlahan, ia seolah merasakan perasaan sedih yang sama. Ia yakin ada sesuatu yang salah dengan dinding itu.

Buru-buru, ia mengambil martil besar milik kuli yang merenovasi rumahnya. Ia masuk ke dalam kamar dan langsung menghantamkannya ke dinding. Dinding seketika roboh berceceran dengan kepingan tembok.

Terlihat tulang belulang yang tertanam dalam rongga tembok. Beberapa jam kemudian, sirene polisi memenuhi rumahnya. Pamannya ditangkap dengan tuduhan melakukan pembunuhan terhadap tantenya yang sudah lama menghilang. Nino hanya bisa kecewa.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak