Siapa yang suka termakan hoaks? Siapa yang bingung membedakan antara fakta dan hoaks? Atau siapa yang mudah membagikan berita bohong ke media sosial?
Di era serba digital saat ini, semua orang bisa merasakan kemudahan akses informasi. Di balik manfaat luar biasa dari perkembangan teknologi, terdapat dampak negatif juga yang tentunya memengaruhi aktivitas manusia.
Apabila teknologi selalu berkaitan erat dengan para pemuda yang kreatif dan cerdas, maka berbanding terbalik dengan generasi tua yang dinilai paling mudah mempercayai berita bohong.
baby boomer adalah generasi manusia kelahiran tahun 1946 hingga 1964 yang sering disebut sebagai generasi orang tua. Sebab di usia tersebut saat ini, mayoritas baby boomer adalah para orang tua, bahkan telah menjadi kakek dan nenek.
Baby boomer lahir dan tumbuh pada masa teknologi belum berkembang dengan pesat. Alhasil karakter baby boomer cenderung lebih konservatif terhadap pandangan politik hingga agama.
Lantas Mengapa Baby Boomer Mudah Termakan Hoaks?
Bukankah yang memiliki akses internet lebih banyak dilakukan oleh para generasi muda? Memang benar, anak muda terutama 95% Gen Z (1996-2010) memiliki akses smartphone. Satu dari tujuh generasi z menggunakan media online. Data tersebut berasal dari survei yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2018.
Namun menurut Axios, hanya ada 7% anak muda di Amerika Serikat yang menganggap media sosial sebagai sumber informasi terpercaya. Sementara yang lainnya atau setara 50% lebih mahasiswa meyakini bahwa situs berita online adalah sumber yang paling dapat dipercaya untuk memberikan informasi.
Sedangkan Baby Boomer, tujuh kali lebih banyak membagikan berita palsu dibandingkan generasi Z menurut Science Advance pada tahun 2016.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) melalui Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Ferdinandus Setu juga menyetujui bahwa cenderung para orang tua yang lebih banyak menyebarkan hoaks dibandingkan anak muda.
Disadur dari laman resmi KOMINFO, golongan paling banyak sebagai pelaku penyebar hoaks ialah kelompok usia 45 tahun ke atas.
Sebagai contoh, begitu mudahnya ditemui kasus bapak-bapak dan ibu-ibu yang asal meneruskan (forward) berita di Grup WhatsApp tanpa dibaca dan diperiksa kebenarannya terlebih dahulu.
Selain itu, juga sering tertangkap tangan para orang tua yang memanfaatkan Facebook sebagai media untuk menyebarkan berita hoaks. Mereka seringkali tidak membaca isi berita, tetapi hanya tertarik dengan judulnya saja, yang kebanyakan clickbait.
Semakin bertambahnya usia seseorang, maka kemampuan kognitifnya mengalami penurunan. Hal inilah yang diyakini sebagai penyebab baby boomer sangat rentan termakan hoaks.
Selain itu, kemampuan literasi digital orang tua cenderung rendah. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu muda untuk bekerja sehingga sering disebut ‘gila kerja’. Kerap kali mereka juga sudah terbiasa melakukan kegiatan atau pekerjaan monoton sehingga cenderung menolak perubahan.
Hingga muncullah fenomena ‘OK Boomer’ yang merupakan wujud sarkastik (menyindir) para generasi tua yang anti-kritik. Sementara jenis pekerjaan anak muda di masa kini lebih bervariasi dan bisa mengandalkan kreativitas.
Peran Para Pemuda dalam Membantu Baby Boomer Keluar dari Jurang ‘Hoaks’
Sebagai generasi penerus bangsa, pemuda dituntut untuk berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Para pemuda harus pintar dalam memanfaatkan teknologi dan mencari informasi. Termasuk pula dalam kegiatan sebagai ‘pengawas’ bagi orang tua yang baru belajar mengenal internet.
Anak-anak harus aktif terlibat memberikan edukasi kepada orang tua agar jauh dari kata hoaks. Walaupun dianggap golongan ‘menyebalkan’, generasi muda harus mau mendampingi para baby boomer beradaptasi dengan teknologi.
Berikan pemahaman kepada orang tua agar tidak hanya membaca judul suatu berita, tetapi keseluruhan isinya. Setelah itu, meyakinkan untuk memilah sumber berita yang kompeten atau tidak. Masyarakat bisa memeriksa keaslian informasi di situs cek fakta.