Bias Minyak Goreng, Antara Pasar Gelap dan Kemandirian Harga

Hernawan | wahyu prihartanto
Bias Minyak Goreng, Antara Pasar Gelap dan Kemandirian Harga
Ilustrasi minyak goreng. [Istimewa]

Belum usai Pandemi Covid-19, negeri ini digoncang lagi dengan kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng di masyarakat. Kelangkaan tersebut diakibatkan oleh minyak goreng murah mengalir ke industri dan diselundupkan ke luar negeri dengan harga lebih tinggi dibanding harga jual domestik. Kondisi tersebut memicu pemerintah bersikap dengan menaikkan porsi pasokan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dalam negeri dari 20% menjadi 30%.

Kenaikan ini sebagai jaminan Pemerintah terkait ketersediaan minyak goreng domestik oleh produsen. Dengan maksud agar distribusi minyak goreng domestik dapat merata. Akan tetapi, jika permasalahannya pada sektor distribusi, mengapa yang diintervensi dengan domestic market obligation (DMO) justru produsen? DMO, ibarat artis yang sedang trending topic saat ini setelah belum lama ini kita mendengar istilah tersebut dalam sengkarut tata kelola energi batubara.

Meskipun masih perlu diuji, saya kira sikap Pemerintah wajar mengingat amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 ayat (3) yang secara garis besar mengatur mengenai minyak dan gas bumi, merupakan kekayaan alam di dalam bumi yang digunakan untuk sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat Indonesia. Dengan adanya indikasi kemakmuran “bukan” rakyat Indonesia itulah menyebabkan kewajiban jumlah pasokan domestik dinaikkan. Akan tetapi, setelah ketersediannya terpenuhi, bagaimana dengan penyalurannya? Mari, kita tunggu perkembangannya. 

*** 

Pagi itu, saya sedang bantu anak merapikan rak buku pelajaran miliknya. Sambil memilah-milah buku yang tidak terpakai untuk disumbangkan ke panti asuhan yang membutuhkan. Di antara perserakan buku, saya temukan satu buku bacaan menarik tentang kegiatan ekonomi, yang di dalamnya berisi sektor produksi, distribusi, dan konsumsi adalah satu kesatuan aktivitas ekonomi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Saya cermati isinya lebih dalam, disimpulkan bahwa ketiga komponen ekonomi tersebut harus saling melengkapi satu dengan lainnya, niscaya kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dapat terwujud. Sederhananya, jika masyarakat kesulitan mendapatkan minyak goreng, dapat dipastikan kedua kegiatan ekonomi lainnya belum beres. Pemerintah mengintervensi sektor produsen melalui DMO, maka tinggal memastikan penyaluran berjalan sesuai sasaran. 

Jika distribusi dibiarkan, maka minyak goreng akan dikendalikan pasar. Dilemanya, pasar tetap akan merespons dengan mencari harga jual tinggi, meskipun DMO dinaikkan berapa prosenpun, produsen tetap akan menekan Pemerintah untuk menurunkan prosentase pasokan domestik. Ujung-ujungnya, masyarakat tetap membayar harga mahal karena barangnya langka.

***

Jika dalam peristiwa hukum, kita mengenal asas pembuktian terbalik. Bagaimana seandainya minyak goreng dijual ke luar negeri dengan harga setinggi-tingginya, dan konsumsi domestik dijual dengan harga serendah-rendahnya? Artinya, sangatlah wajar pasar luar negeri akan membeli minyak goreng Indonesia dengan nilai tinggi, sementara masyarakat kita dapat menikmati lumbung minyak goreng dengan harga wajar dan terjangkau.

Dalam perdagangan ekonomi dunia, mungkin kita pernah dengar diskriminasi harga terhadap produk tertentu dengan permintaan tidak berubah meskipun harga pasar luar negeri berubah. Diskriminasi harga tinggi dikenakan pada pasar luar negeri, tapi terhadap pasar lokal dikenakan harga rendah. Strategi semacam ini dikenal dengan dumping yang pernah diterapkan di beberapa negara berabad-abad lalu.

Meskipun begitu, praktik dumping banyak ditentang oleh negara-negara importir karena merasa dicurangi atau dirugikan karenanya. World Trade Organisation (WTO) bersikap ambigu dalam hal ini, tidak menyetujui tindakan dumping, tapi tidak melarang. Negara-negara yang melaksanakan praktik dumping disilakan menyusun ketentuan serta mekanismenya sendiri-sendiri.

***

Menurut penjelasan Pemerintah, kebocoran minyak goreng murah terjadi pada tingkat distributor yang menyebabkan harga di pasaran tidak kunjung turun. Industri membeli minyak goreng dengan harga murah, dan dijual kembali dengan harga tinggi dengan diselundupkan ke luar negeri, sehingga harga jual domestik tinggi. Diharapkan dengan penetapan harga tinggi di pasar luar negeri, orang luar negeri malas beli minyak goreng kita, persediaan domestik tercukupi, dan harga minyak goreng di masyarakat dapat diturunkan.

Pemerintah telah menaikkan porsi DMO minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dalam upaya mengendalikan harga. Efek diskriminasi harga, dengan sendirinya pasokan dalam negeri terpenuhi meskipun tanpa ketetapan DMO. Intervensi diskriminasi harga agar distribusi bisa berjalan semestinya yang sekaligus menjawab kritikan intervensi Pemerintah salah sasaran. 

Namun, jika Pemerintah tetap menggunakan porsi DMO, maka harus dapat dipastikan minyak goreng hasil DMO sampai ke tangan konsumen khususnya masyarakat kecil yang membutuhkan. Di luar itu semua, kita perlu mengambil hikmah dari kenaikan harga minyak yang berlarut-larut ini. Minimal, mereka yang sedang diet dan menjaga asupan kolesterol akan berpikir dua kali sebelum menghabiskan uangnya untuk beli gorengan.

Sekali lagi, ini hanya uneg-uneg kecil seorang manusia yang sedang menggoreng sepotong kerupuk dengan pasir di dekat belantara hutan pohon sawit. Dia sadar, kerupuk tersebut bakal hangus, tetapi sedikit mengembang asal ketipisannya melampaui tipisnya tempe yang seolah kehabisan stock kedelai. Di samping kanan rumahnya berdiri kandang berisi seekor sapi yang siap disembelih, dan akan dibawa semua oleh majikannya ke kota.   

Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak