Tepat pada hari Senin, 13 Februari 2023, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Wahyu Iman Santoso memberi vonis hukuman mati terhadap Mantan Kepala Divisi Propam Polri, Ferdy Sambo. Putusan yang diberikan telah dibuktikan melalui tindakan yang dilakukan oleh Ferdy Sambo berupa tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir Yosua.
Tindak pidana yang dilakukan oleh Sambo juga telah melanggar berbagai pasal, seperti Pasal 340 j.o. Pasal 55 ayat (1) KUHP, Pasal 49 j.o. Pasal 33 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Infromasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE j.o. Pasal 55 ayat (1) KUHP, dan Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
Putusan yang diberikan oleh hakim tentu bersifat mengikat dan tidak dapat diganggu gugat. Lalu, mengingat putusan yang diberikan juga lebih berat dibandingkan dari tuntutan jaksa penuntut umum sebelumnya yang menyatakan Ferdy Sambo diberikan hukuman berupa pidana penjara seumur hidup.
BACA JUGA: Celah Bebas Ferdy Sambo? Video Hotman Paris Ramai Lagi: Hukuman Mati Harus Menunggu 10 Tahun
Kronologi Kasus Pembunuhan Berencana Terhadap Brigadir Yosua Hutabarat
Sebagaimana yang diketahui, Ferdy Sambo telah melakukan aksi penembakan terhadap Brigadir Yosua pada hari Jumat, 8 Juli 2022 silam. Peristiwa tersebut terjadi tepat pada pukul 17.16 WIB.
Sambo beserta istrinya, Putri Candrawathi, dua ajudannya, Bharada Richard Eliezer dan Bripka Ricky Rizal, dan sopirnya, Kuat Ma'ruf terlibat dalam melakukan pembunuhan terhadap Brigadir Yosua dalam bentuk aksi tembak dari satu pihak di Rumah Dinas Sambo Nomor 46, Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Aksi penembakan tersebut dilakukan oleh Sambo dan Richard, di mana mereka telah merencanakan tindakan tersebut sebelumnya dengan menyusun strategi untuk membunuh Yosua.
Adapun alasan mereka menyusun strategi pembunuhan tersebut yaitu dilatarbelakangi oleh pengakuan dari istri Sambo, Putri Candrawathi bahwa ia telah dilecehkan oleh Yosua ketika berada di Magelang, Jawa Tengah di hari sebelum kejadian, Kamis, 7 Juli 2022. Mendengar kejadian tersebut membuat Sambo mulai menyusun strategi dengan memerintahkan kepada Bripka Ricky Rizal dan Bharada Richard untuk segera menembak Yosua.
Akan tetapi, pada saat kejadian, Bripka Ricky Rizal menolak dari perintah tersebut dan beralih kepada Bharada Richard untuk melakukan aksi itu. Hingga pada akhirnya, pada saat peristiwa tersebut terjadi, Bharada Richard melakukan eksekusi penembakan terhadap Brigadir Yosua sebanyak 3 kali tembakan ke bagian badan korban.
Setelah itu, diikuti Sambo dengan melakukan tembakan ke arah bagian kepala Yosua hingga terkapar dan berujung tewas. Setelah beliau tewas, Sambo lalu menembak ke dinding rumah dengan menggunakan pistol milik Yosua agar menciptakan sebuah narasi tuduhan tembak menembak antara Brigadir Yosua dengan Bharada Richard.
Sebagaimana pernyataan latar belakang yang disampaikan oleh Putri Candrawathi mengenai pelecehan dianggap hanya sebagai dalih oleh majelis hakim. Hal ini disebabkan tidak adanya bukti yang valid dan jelas dan majelis hakim juga menyatakan pelecehan yang dilakukan oleh Brigadir Yosua sangat kecil kemungkinan mengingat korban hanyalah sebagai ajudan terhadap mereka (Sambo dan Putri) yang berada sebagai posisi yang dominan.
Berbagai dalih yang diberikan oleh kelima terdakwa tersebut membuat jalannya persidangan menjadi berbelit-belit dan tidak berujung pada pengakuan secara jelas. Hal tersebut membuat hakim menyatakan untuk tidak wajib membuktikan motif pembunuhan berencana tersebut karena hal tersebut bukanlah bagian yang berkesinambungan. Tindakan pembunuhan berencana ini juga dinyatakan oleh hakim sebagai tindakan yang berunsur kesengajaan yang memang sudah direncanakan oleh terdakwa sebelumnya.
Ditambah lagi dengan dirusaknya kamera CCTV rumah oleh Sambo sendiri mengakibatkan beliau dianggap telah menghalangi proses penyelidikan oleh jaksa untuk mencari tahu penyebab dan kronologi aksi pembunuhan berencana tersebut. Tindakan merusak CCTV oleh Sambo justru memperberat jeratan hukuman yang diberikan berupa telah melanggar UU ITE.
Tidak hanya pada kejadian tersebut, tetapi juga drama yang dilakukan oleh terdakwa tentu membuat proses persidangan menjadi lambat dan hanya menghabiskan waktu dengan sandiwara. Hal ini juga tentu membuat tindakan yang dilakukan Sambo cs telah mencoreng nama baik dan citra Kepolisian Indonesia. Bahkan, tidak lupa juga dengan bukti yang disampaikan oleh majelis hakim pada saat sidang vonis, di mana Sambo terbukti ikut membunuh Brigadir Yosua dengan menggunakan sarung tangan berwarna hitam dan menembak dengan menggunakan senjata berjenis Glock 17.
Dari kronologi peristiwa tersebut membuat hakim telah menyatakan putusan tindak pidana hukuman mati terhadap Sambo, sedangkan keempat terdakwa lainnya masih dalam proses oleh majelis hakim. Putusan tersebut tentu membuat Keluarga Brigadir Yosua selaku keluarga korban bernapas lega dan menyatakan telah sesuai dengan harapan yang berujung pada keadilan.
Tidak lupa juga keluarga korban melalui ibu kandung dari korban memberikan rasa terima kasih kepada majelis hakim dan seluruh masyarakat yang telah mengikuti proses persidangan kasus tersebut. Bukan hanya dari respons keluarga korban saja, tetapi juga publik masyarakat turut serta berterima kasih kepada majelis hakim karena suara keadilan yang dibawakan oleh masyarakat telah didengar oleh majelis hakim.
Istilah Fiat Justitia Ruat Caelum Terhadap Pidana Ferdy Sambo
Berhubungan dengan vonis hukuman terhadap Ferdy Sambo, fenomena seperti ini mengingatkan kepada sebuah istilah kredo yaitu Fiat Justitia Ruat Caelum. Memang istilah seperti ini kerap jarang terdengar oleh masyarakat umum dan sebagian masyarakat juga ada yang memahami istilah tersebut yang memang notabene mereka masih menjadi bagian dalam ranah Hukum dan Peradilan, baik dalam segi akademisi, praktisi, maupun pegiat hukum yang berada di Indonesia.
Adapun pemaknaan pada istilah Fiat Justitia Ruat Caelum berasal dari bahasa Latin yang diucapkan pertama kali oleh Lucius Calpurnius pada abad ke-43 SM. Istilah tersebut yang berarti "Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh". Artinya, istilah seperti ini mengarah pada suatu situasi dan kondisi darurat apapun, tetapi hukum tetap harus ditegakkan tanpa tergoyahkan.
Adanya pemberian pada istilah seperti ini tentu sangat berkorelasi dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Ferdy Sambo cs. Meski dalam keadaan yang mendesak seperti hubungan kekeluargaan mereka yang menjadi komponen penting dan menerima kenyataan yang sangat pahit bagi istri dan anak-anaknya, tetapi proses hukuman yang sangat berat, bahkan hukuman mati yang diberikan oleh terpidana harus diterima dengan lapang dada tetap dilaksanakan.
BACA JUGA: Prediksi Pakar Psikologi Forensik Soal Vonis Hakim Untuk Sambo, PC, dan Eliezer
Mengingat juga hal ini menjadi urgensi atas tindakan Sambo yang dianggap kejam akibat dari upaya yang berujung pada penghilangan nyawa kepada orang yang tidak bersalah. Urgensi kasus tersebut juga mengingatkan harapan dari rasa keadilan yang terus diikuti dan disuarakan oleh seluruh elemen masyarakat bahwa adanya ibarat berupa nyawa harus dibayar dengan nyawa. Hal seperti ini juga menjadi refleksi dari Sila ke-5 dalam Pancasila bahwa Keadilan Sosial bagi Seluruh Masyarakat Indonesia.
Dengan adanya kejadian tersebut justru memberikan sebuah pesan bagi seluruh masyarakat Indonesia agar tidak melakukan tindakan tersebut. Karena tindakan tersebut dianggap telah merugikan masyarakat bahkan mengancam kehidupan suatu orang.
Meskipun berbagai dalih maupun alasan yang disampaikan oleh pelaku tentu ketika telah melanggar tindak pidana tersebut harus tetapi dijalankan dan diterima. Dengan demikian, penegakkan hukum yang berada di dunia, termasuk Indonesia berlaku bagi seluruh kalangan tanpa memandang sebelah mata.